Mengemis, menjajakan belas kasihan dengan kebohongan. Profesi minus yang mempertunjukkan rasa iba untuk menarik siapapun tergoda untuk memberi. Siapapun bisa saja terjebak untuk menjalaninya; mudah dan tanpa perlu belajar untuk menjalaninya.Â
Terkadang karena tuntutan kebutuhan yang begitu banyak, begitu banyak manusia terjebak untuk merendahkan martabat manusia. Bukan hanya korupsi, mengemis menjadikan seseorang tercukupi secara ekonomi, tetapi martabat tergadai begitu rendah.Â
Meminta dari rumah ke rumah, dari jalan ke jalan, dari lampu merah ke lampu merah yang lain adalah sebuah pemandangan keseharian jika kita keluar rumah atau gang.Â
Mereka berusaha menarik dalam berbagai rupa dan cara; membungkus kaki seolah terluka, berjalan seolah celaka, atau mendekap si kecil menangis seolah sakit dan butuh biaya. Berjualan iba itu menjadi tradisi sekaligus profesi.Â
Kondisi Ekonomi
Di tengah berbagai kesulitan ekonomi seperti pemutusan hubungan kerja (PHK), harga bahan pangan yang melambung tinggi, biaya hidup yang semakin tak terjangkau, resesi ekonomi, sikap mau mudah tanpa usaha, dan pendidikan rendah bisa jadi menjadi pemicu pengemis menjadi jalan hidup. Mengemis dianggap sebagai solusi mengatasi masalah ekonomi, apalagi seseorang tanpa ketrampilan dan kematian kemauan berusaha.Â
Padahal, mengemis adalah sebuah penyakit. Mereka yang kecanduan penyakit ini, bagaimanapun keadaannya akan tetap melakukan hal yang sama. Â Ketika dia punya modal cukup untuk usaha, akan dihabiskan dan kembali menjadi pengemis.Â
Ketika dia mendapat berbagai pelatihan, tak akan digunakan dan kembali mengemis. Ketika dia disalutkan ke berbagai perusahaan, satu dua hari akan mangkir dan kembali ke jalan-jalan dan ke rumah-rumah untuk mengemis.Â
Apapun cara yang dilakukan oleh lembaga, dinas sosial, atau perusahaan, dia akan kembali menjadi pengemis. Karena darah dan nadinya tidak lepas dari peminta-minta.Â
Menjadi pengemis menjadi sebuah permainan yang menghadirkan dua sisi yang berbeda. Di Jakarta menjadi pengemis, di kampung hidup layaknya pengusaha. Di kota-kota hidup sebagai yang miskin dan tersingkir, sementara di kampung bergaya layaknya orang terkaya di Indonesia. Dia tidak akan punya rasa malu, meski wajahnya terpampang diberbagai media dan televisi.Â