Sepertinya jebakan-jebakan kecil ini membutuhkan kebijaksanaan, bukan hanya orang tua, tetapi juga guru, sekolah dan pemangku kepentingan yang memang peduli dengan pendidikan di negeri ini.
Jangan sampai, tujuan mulia guru yang dianggap tahu kebutuhan siswa kemudian terenggut oleh keputusan sesaat yang menjadikan PR kambing hitam permasalahan negeri ini.
Sebuah kesadaran begitu penting ketika proses pembelajaran harus terus-menerus melakukan pengulangan dan pengelolaan sarana belajar, pun dengan PR. Organisasi kelas harus dibuat sedemikian rapi agar siswa benar-benar mempunyai kompetensi seperti yang diharapkan oleh setiap organisasai pendidikan. Bukankah dalam setiap proses pendidikan tidak hanya menghasilkan sebuah kompetensi otak melulu.
Siswa perlu belajar bagaimana pantang menyerah berlaku untuk seluruh dinamika kehidupannya, bagaimana kerjasama terjadi dalam setiap jengkal harapan, bagaimana kepedulian ditanam dalam sanubari yang paling dalam, bagaimana menjadikan kejujuran sebagai roh setiap perbuatan, bahkan sampai dimana memaknai kebersamaan dalam masyarakat yang serba beragam. Jangan-jangan sekian bentuk karakter siswa dapat terlihat dalam setiap proses pendidikan di kelas, di rumah dan di masyarakat.
Termasuk bagaimana seharus  PR bisa dijadikan sarana membekali karakter yang diagung-agungkan dalam dunia pendidikan kita. Bukan malah menganggapnya  sebagai monster yang menakutkan. Jangan-jangan yang menjadi masalah sebenarnya bukan pada PR itu sendiri, tetapi ketidakpercayaan terhadap guru yang tidak sanggup mengelola PR untuk siswa-siswanya.Â
Tugas tidak Membelenggu
Siswa akan dibebaskan dari PR. Siswa akan dibebaskan dari belenggu tugas di rumah. Begitulah kira-kira berita pembebasan anak didik dari belenggu PR. Begitu banyak masyarakat yang mengamini. Setuju, satu kata, dan ya, begitulah menjadikan siswa yang bebas merdeka. Merdeka dari penjajahan  PR.
Alasan sederhanya; membebaskan PR ini akan diterapkan agar beban tugas kepada pelajar SD dan SMP tidak terjadi. Seperti menggali lubang tutup lubang, satu masalah lenyap tumbuh seribu masalah. Â Â
Padahal bisa saja PR dijadikan cara untuk memperkuat kerjasama antarsiswa. Dilakukan bersama-sama, didiskusikan bersama, bisa di rumah dan bisa di sekolah.
Guru bisa mengamati bagaimana siswa terlibat bersama-sama. Bahkan orang tua pun bisa sebagai guru besar di rumah; mengamati bagaimana setiap anak ikut andil dalam mengerjakan PR. Bukan malah orang tua yang mengerjakan atau guru les yang ambil bagian.Â
Rasanya bukan kesalahan jika guru tetap memberikan tantangan untuk siswa, tentunya dengan tatatan tingkat kompetensi mereka. Maka, jika PR itu dianggap membebani, tentunya guru ambil bagian ikut menekan siswa. Tidak salah, jika guru memang harus mengetahui benar kemampuan setiap anak satu per satu, sehingga apa yang diberikan tidak begitu saja ditimpakan kepada siswa secara serampangan.Â