Mohon tunggu...
ARI INDAH LESTARI
ARI INDAH LESTARI Mohon Tunggu... -

Saya adalah seorang mahasiswi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kerikil

6 November 2014   06:10 Diperbarui: 17 Juni 2015   18:30 20
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sore ini begitu hangat. Panasnya sinar matahari diterpa oleh besarnya tiupan angin sore. Namun agaknya jiwaku terasa sakit setelah beberapa menit yang lalu saat Melati menceritakan tentang semua yang telah diperbuat salah satu temanku secara diam-diam kepadaku. Dia menusukku dari belakang.

Biarkan hidup ini mengalir seperti air yang tenang tanpa goncangan angin sekalipun. Biar kali ini ku tak merasa aman ku kan tetap berteguh hati menjaga prinsipku. Aku percaya selagi Aku benar Tuhan pasti tetap akan melindungiku. Meskipun sedih mendengar hal itu Aku tak boleh meneteskan sedikitpun air mata.

Tak terduga apa yang kupikirkan ternyata benar adanya. Dasar rubah licik tak bermoral. Otak ini tak akan bakal mati untuk berfikir kala kau menaburkan sejuta kebaikan untuk mengambil salah satu asetku. Meski ku diam tak berucap bukan berarti Aku bodoh membiarkan kau membodohiku, karena Aku menunggu waktu yang tepat untuk menyerangmu.

Aku ingin sekali marah. Kenapa kau tega melakukan semua ini terhadap temanmu sendiri. Tak sadarkah bahwa apa yang kau lakukan ini dapat memutuskan tali persaudaraan diantara kita.

“Sebenarnya aku sudah mulai bertanya-tanya saat aku melihat pandangan sinisnya kepadamu dan perubahan tingkah lakunya yang sangat ganjil ketika Dia membutuhkanmu. Aku ingin membicarakan masalah ini sejak lama. Aku takut kau tak mengetahui masalah ini”. Melati mulai membicarakannya dengan pelan-pelan dan hati-hati.

“Sebenarnya aku sudah mengetahuinya. Namun aku coba untuk berpikir positif terhadap dia. Aku tak mau membahas apa yang menjadi kekurangannya”. Sahutku. Tahukah kau apa yang kupikirkan sekarang. Aku mempertanyakan apa kesalahan yang telah Aku perbuat terhadap Dia. Aku sudah memberikan apa yang telah Dia inginkan dariku kenapa Dia masih begitu. Kenapa Dia masih menginginkan hal lain yang ku punya”. Tambahku.

“Mungkin mereka iri terhadapmu. Tapi jikalau memang mereka iri tak seharusnya mereka lakukan ini terhadapmu”. Sahut Melati

Entah bara apa yang telah menyeret kita dalam permasalahan yang rumit ini. Seperti apa yang telah aku katakan sebelumnya. Sebanyak apapun kau melempar api ke tubuhku Aku tak akan sekalipun merasa kepanasan bahkan tersiksa.

Kalian hanyalah sekumpulan batu kecil yang keras kepala dan tak tahu bagaimana rasanya menjadi batu besar yang terpecah sekeping demi sekeping karena berbagai pukulan palu yang menyakitkan. Palu ini lebih menyakitkan bagi sebuah batu dibandingkan sejuta serbuan api. Seharusnya kalian yang mengaku berpegang teguh pada rasionalisme berfikir apa artinya menyulut api pada batu. Janganlah pernah mengutamakan nafsu ambisiusmu saja.

Katanya rasionalisme, kenapa pikirannya seperti sumur dangkal yang tak ada airnya. seharusnya kalian berfikir selamanya sang batu besar tak akan dapat dikalahkan oleh api bahkan oleh sekumpulan kerikil yang dapat terhitung jari.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun