Mohon tunggu...
ari imogiri
ari imogiri Mohon Tunggu... Administrasi - warga desa

suka aja mengamati berita-berita politik

Selanjutnya

Tutup

Politik

Politik Kekuasaan itu bukan Pertarungan Hitam vs Putih, Belajar dari Serat Tripama

4 Mei 2023   11:07 Diperbarui: 4 Mei 2023   14:17 354
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Seri Budaya
Serat Tripama

Yogyanira kang para prajurit;
Lamun bisa sira anulada;
Duk ing nguni caritane;
Andelira Sang Prabu;
Sasrabahu ing Maespati;
Aran patih Suwanda;
Lalabuhanipun;
Kang ginelung triprakara;
Guna kaya purun ingkang den antepi;
Nuhoni trah utama.

Yang tertulis di atas adalah bait pertama dari Serat Tripama, yang ditulis oleh Mangkunegoro IV, Adipati Puro Mangkunegaran Surakarta. Secara lengkap Serat Tripama ini terdiri atas 7 bait tembang yang mengisahkan tentang kepahlawanan 3 orang ksatria yang diambil dari kisah dunia pewayangan, yaitu Bambang Sumantri, Sang Patih Suwondo dari negeri Maespati yang gugur ketika melawan Dasamuka, kemudian Kumbakarna, adik Dasamuka dari Alengka yang gugur ketika melawan serbuan prajurit Ramawijaya, terakhir adalah Basukarna, raja Awangga yang gugur ketika melawan adiknya, Arjuna dalam perang Bharatayudha.  

Yang menarik adalah bahwa 2 dari tokoh ksatria   utama yang     ditulis untuk menjadi figur yang layak dicontoh merupakan figur yang berperang di sisi yang kategori jahat. Hal ini menarik, bahwa tradisi Jawa tidak lah memposisikan posisi manusia dalam hubungan yang oposisional biner, hitam vs putih, baik vs buruk.                            

Patih Suwondo,
Dikisahkan bahwa Patih Suwondo ini adalah patih yang pintar dan terampil, semua tugas yang dilimpahkan kepadanya pasti diselesaikan dengan sempurna, hingga meraih kesuksesan. Selain pintar dan terampil, patih Suwondo dikisahkan adalah seorang ksatria yang ikhlas berjuang sekaligus seorang yang pemberani. Meski sering memenangkan peperangan dengan kerajaan lain, tak pernah ada keinginan untuk memperkaya diri dengan harta rampasan yang diperoleh.

Sementara sifat pemberaninya dibuktikan dengan keberaniannya bertempur melawan Dasamuka yang dikenal memiliki kesaktian tiada tara, sehingga akhirnya Patih Suwondo pun gugur dalam pertempuran mempertahakan kerajaannya dari serangan Dasamuka. Selain sifat mulianya tersebut, dikisahkan juga sisi buruk Patih Suwondo yang memperlakukan adik kandungnya, Sukrasana, yang banyak membantunya. Patih Suwondo memperlakukan Sukrasana dengan buruk bukan karena sifat dan kelakuannya, tapi hanya karena Sukrasana berwujud buruk rupa sehingga Patih Suwondo merasa malu dengan adiknya tersebut.

Kumbakarna
Kumbakarna seorang raksasa yang merupakan adik dari Prabu Dasamuka (Rahwana) dari Alengka. Ia merupakan sosok yang memiliki jiwa kesatria serta semangat cinta tanah air. Saat Alengka diserang oleh tentara kera, kumbakarna turut maju, bukan untuk membantu kakaknya yang bersalah melainkan untuk maju sebagai seorang kesatria yang berusaha membela dan mempertahankan tanah kelahiran dan tanah peninggalan leluhurnya. Dan pada akhirnya ia pun gugur di medan laga. Selain sikap ksatrianya tersebut, Serat Tripama juga menggambarkan Kumbakarna sebagai figur raksasa yang tidak sanggup menahan hawa nafsunya, terutama nafsu makan dan nafsu tidurnya yang sangat berlebihan.

Basukarna
Basukarna atau Adipati Karna adalah Kakak seibu dari para Pandawa, namun karena hutang budinya kepada Duryudana, maka Basukarna tidak bersedia berdiri di pihak Pandawa saat Bharatayudha. Ia memilih bertempur melawan Arjuna, adik seibu yang seimbang kepiawaiannya dalam memanah. Ia berutang budi pada Duryudana dan telah bersumpah untuk membalas persaudaraan itu dengan sebuah loyalitas dan memegang teguh janjinya sebagai sumpah setia untuk membalas budi prabu Kurupati tersebut. 

Dan loyalitas itu ia buktikan hingga hembusan nafas terakhirnya di tangan Arjuna, adiknya sendiri di hari ke 17 perang Bharatayudha. Dikisahkan, Adipati Karna adalah figur yang egois dan angkuh/sombong. Untuk memuaskan hasratnya, terkadang ia dapat melakukan segala cara, termasuk manuver-manuvernya yang penuh tipu muslihat.

Penutup
Serat Tripama dengan baik menggambarkan Tradisi Jawa yang memandang bahwa dalam pertarungan kekuasaan tidak ada figur  yang seratus persen baik dan seratus persen jahat, ada sisi buruk di figur kelompok baik dan sebaliknya ada sisi baik di kelompok jahat. Tradisi Jawa menggambarkan bahwa pertarungan kekuasaan bukanlah perang armaggedon/perang akhir jaman  antara kebaikan dan kejahatan, namun merupakan pertarungan kepentingan antar pihak yang bertarung demi kemenangan .

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun