Mohon tunggu...
ari imogiri
ari imogiri Mohon Tunggu... Administrasi - warga desa

suka aja mengamati berita-berita politik

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Wayang Kulit dan Dakwah Walisongo di Tanah Jawa

16 Februari 2022   19:28 Diperbarui: 16 Februari 2022   19:34 720
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Salah satu produk budaya yang sampai saat ini masih populer di kalangan masyarakat Jawa adalah wayang kulit. Pertunjukan wayang kulit sampai saat ini masih cukup digemari oleh berbagai kalangan. Silih berganti nama-nama dalang dari satu generasi ke generasi berikutnya, Ki Hadi Sugito, Ki Timbul, Ki Anom Suroto, Ki Seno Nugroho merupakan nama-nama dalang wayang kulit yang populer di kalangan masyarakat Jawa khususnya Jawa Tengah dan Yogyakarta.

Wayang kulit yang kita kenal seperti sekarang ini diperkirakan muncul seiring dengan masifnya gerak dakwah para wali di era kerajaan Demak. Sebelum kemunculan wayang kulit sebelumnya lebih dulu dikenal produk budaya wayang yang berupa wayang beber, yaitu gambar adegan wayang yang dilukis atau digambar dalam lembaran kulit. Jadi mirip seperti gambar relief di candi-candi, satu fragmen/adegan cerita dilukiskan dalam satu lembaran.

Diantara para wali adalah Sunan Kalijaga yang dikenal sangat erat menggunakan wayang kulit sebagai media dakwah untuk menyebarkan Islam ke segala penjuru Pulau Jawa. Jasa besar Sunan Kalijaga bagi Islam tak lain karena dirinya melakukan kreasi baru dalam pentas wayang kulit. Kreasi itu dilakukan supaya kesenian wayang cocok dengan selera zaman. Apalagi sebagai media dakwah. Ia pun mencoba memasukkan unsur-unsur Islam ke dalam wayang.

Sebagai contoh Sunan Kalijaga menjadikan Pandawa yang beranggotakan lima orang penegak kebenaran sebagai lambang dari lima Rukun Islam. Yudhistira sebagai putra sulung Pandu diberi pusaka yang disebut "kalimasada" alias kalimat syahadat. Pun sosok Bima yang selalu berdiri tegak dan kokoh dilambangkan sebagai Sholat yang merupakan tiangnya agama. Arjuna yang senang bertapa dijadikan sebagai simbol puasa. Yang terakhir, si kembar Nakula dan Sadewa dijadikan sebagai lambang zakat dan haji.

Unsur lain yang dimunculkan oleh Walisongo adalah para ponokawan atau pemomong para Pandawa, yaitu Semar, Nala Gareng, Petruk dan Bagong yang diadaptasikan dari bahasa Arab, yaitu Semar, dari bahasa Arab "Simaar" yang artinya 'Paku', sebagai perlambang bahwa kebenaran agama Islam adalah kokoh, lalu Nala Gareng, dari bahasa Arab "Naala Qoriin" yang artinya memperoleh banyak kawan. Kemudian Petruk, dari bahasa Arab "Fatruk" yang artinya tinggalkan. Diambil dari kalimat Fatruk kullu masiwallahi, yang bermakna "tinggalkanlah segala yang selain Allah". Terakhir, Bagong, dari bahasa Arab "Bagha" yang artinya berontak, yaitu memberontak terhadap sesuatu yang zalim.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun