KMP sebagai sebuah koalisi pengusung pasangan calon presiden dan wakil presiden di pilpres 2014 yang lalu dikhtiarkan menjadi sebuah koalisi permanen diantara partai-partai anggotanya, yaitu Gerindra, PAN, Golkar, PKS, PPP dan PBB. namun seiring perjalanan waktu, satu persatu anggota koalisi ini mulai berbelok arah, atau lebih tepatnya mendua, karena kemudian saling berurutan mendeklarasikan dukungannya kepada pemerintahan jokowi - jeka. dimulai dengan deklarasi sepihak PPP oleh Rommy cs yang berujung pecahnya PPP sampai saat ini, meskipun di akhir perjalanan perpecahannya, PPP kubu Jan Farid sebagai kubu kontranya kubu Rommy juga mendeklarasikan dukungannya, setelah sebelumnya hal serupa dilakukan oleh Golkar yang mengalami perpecahan karena diawali isu serupa, sebagian elit pengin mendukung jokowi-jeka, sebagian pengin tetyap sebagai oposisi. satu-satunya anggota KMP yang tidak mengalami perpecahan namun kemudian mendeklarasikan dukungan kepada jokowi-jeka adalah PAN.
Selain itu, meski sampai saat ini tidak mendeklarasikan dukungan kepada jokowi-jeka, PKS selalu dicitrakan oleh pengamat dan media telah merapat kepada jokowi-jeka, karena para petingginya pernah melakukan pertemuan dengan jokowi dan juga disusul pertemuan dengan jeka. hal lain yang membuat para pengamat dan media mencitrakan PKS merapat ke jokowi-jeka adalah pergantian kepemimpinan di tubuh PKS yang dicitrakan oleh media sebagai ajang pembersihan terhadap faksi yang dianggap keras terhadap jokowi dan diganti dengan faksi yang lebih lembut terhadap jokowi, termasuk dengan tidak masuknya salah satu icon PKS, fahri hamzah, yang terkenal selalu garang terhadap berbagai kebijakan jokowi dan kabinetnya, ke dalam struktur pengurus baru PKS. belum lagi kemudian disusul sebuah wacana tentang pelengseran fahri hamzah dari kursi pimpinan dewan dan akan digantikan dengan personel yang lain. wacana ini dikonfirmasi oleh yang bersangkutan, dan sampai saat ini fahri tetap bersikukuh untuk menolak lengser dari kursi pimpinan dewan sebagaimana permintaan ketua majelis syuronya.
Kembali ke soal KMP. lalu dengan mengalirnya dukungan partai-partai angggota KMP kepada pemerintahan jokowi-jeka apakah kemudian bisa disebut KMP atau oposisi hancur lebur? untuk menjawab pertanyaan tersbut, tentu kita harus melakukan pengamatan yang lebih terhadap perjalanan pasca pelantikan jokowi-jeka sebagai presiden dan wakil presiden, oktober 2014. sejak saat itu sebenarnya praktis KMP tidak pernah melakukan kontra secara institusi terhadap berbagai kebijakan yang dilakukan oleh jokowi-jeka, sehingga batas antara partai posisi dan partai pendukung pemerintah, sebenrnya hanya dibedakan oleh apakah partai itu punya menteri di kabinet atau tidak, sementara tentang sikap terhadap kebijakan jokowi, sama sekali tidak bisa dibedakan, sehingga jika para jokower selalu mencerca parta-partai KMP sebagai partai yang ingin menjegal jokowi, ingin merecoki dan lain-lain, maka sebenarnya itu hanya islusi semata, toh faktanya justru malah partai-partai KIH sebagai pengusung jokowi-jeka yang sering sangat galak kepada jokowi - jeka, ambil contoh satu saja, kasus pelindo, bukankah justru pdip yang sangat galak kepada pelindo, bukan partai-partai di KMP.Â
Maka dengan melihat perjalanan sikap partai-partai di KMP sejak dilantiknya jokowi-jeka sampai saat ini, boleh dikatakan bahwa dukungan sebagian anggota KMP ke jokowi-jeka tidak lah menghancurkan KMP, karena toh memang selama ini tidak ada pertarungan KMP vs KIH di parlemen sebagaimana ilusi para jokowers, sehingga kemudian menampilkan itungan jumlah kursi partai-partai KMP yang tinggal Gerindra dan PKS yang praktis akan kalah melawan partai-partai pendukung jokowi-jeka yang jumlah kursinya sangat bejibun.Â
Bahkan bisa jadi, karena sesungguhnya yang ssejak semula sering bertarung adalah justru kubu istana sendiri, maka dukungan partai-partai KMP ke pemerintahan jokowi tidak akan merubah konstelasi di parlemen, tetap saja sikap partai-partai aan lebih dipengaruhi kepentingan masing-masing partai berkaitan dengan isu tertentu. sebagai misal tentang revisi UU KPK, toh sampai saat ini terlihat yang sedang menjadi perhatian publik, perlu diketahui bahwa yang mengusulkan revisi UU KPK adalah campuran dari fraksi-fraksi KMP dan KIH, 45 anggota DPR yang menjadi pengusul masih sama dengan pengusul pada Oktober 2015 (di saat itu PAN sudah mendukung jokowi, Golkar dan PPP belum) yakni ada 15 orang anggota F-PDIP yang mendukung revisi UU KPK, 11 orang F-NasDem (Nasional Demokrat), 9 orang F-Golkar, 5 orang F-PPP (Partai Persatuan Pembangunan), 3 orang F-Hanura (Hati Nurani Rakyat), dan 2 orang F-PKB (Partai Kebangkitan Bangsa).Â
Semestinya jika memang koalisi itu kompak, baik KMP maupun KIH (yang kemudian berganti nama menjadi partai-partai pendukung pemerintah) tentu akan ada pembelahan diantara dua koalisi itu mensikapi usulan revisi UU KPK, ternyata tidak, KMP tidak satu sikap terhadap isu itu, ada yang setuju, yaitu Golkar dan PPP, ada yang kontra yaitu Gerindra dan PKS. di sisi lain pendukung jokowi juga tidak kompak, ada yang setuju yaitu PDIP, Nasdem, PKB dan Hanura, sementara PAN tidak setuju.
Sekali lagi ini adalah salah satu contoh bahwa kini hubungan antar partai sudah semakin cair, tidak lagi dibedakan partai oposisi ataupun partai pendukung pemerintah. sikap terhadap satu isu akan sangat beragam, tergantung kepentingan partai masing-masing.
Apalagi seturut muncunya isu reshhfle yang sempat menghangat beberapa waktu lalu dan agak surut saat ini, menunjukkan bahwa partai-partai pendukung pemerintah ternyata hanya memikirkan kepentingannya sendiri-sendiri, tidak memikirkan kepentingan yang lebih besar, yaitu bagaimana mendukung jokowi membentuk sebuah kabinet yang bagus, solid dan sigap dalam bekerja. partai-partai itu hanya sibuk bermanuver untuk memempertahankan kursi menterinya sambil menyentil bahwa partai lain layak direshufle menterinya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H