Sejak pertama saya memulai berkuliah di Yogyakarta pada September 2016. Sebelumya saya membayangkan bahwa konsumsi makanan harian saya pasti tidak akan jauh dari angkringan, gudeg, atau makanan khas Jogja yang lainnya.
Namun pandangan itu seketika sirna ketika saya sampai di Jogja, yang mana pada lingkungan kampus tempat saya berkuliah yaitu di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY). Lebih banyak didominasi oleh Warmindo, Geprekan, RM Padang, dan Pecel Lele.
Saya merasakan betul pada saat itu bagaimana susahnya mencari angkringan dan penjual gudeg di sekitar kampus. Kalaupun ada yang jual, pasti tempatnya tidak akan begitu rame dan cenderung sepi dari pembeli.
Tentu hal ini menimbulkan tanya bagi saya yang dulu berekpektasi seperti itu. Kira-kira apa yang menyebabkan hal itu bisa terjadi terhadap makanan lokal kalah eksis di daerahnya sendiri?
Variasi Menu
Jika kita melihat menu yang disajikan pada RM padang dan di gerobak-gerobak tempat penjual angkringan. Tentu variasi makanannya jauh lebih banyak RM padang dan warmindo dibanding angkringan, terlebih memang RM padang mempunyai jumlah variasi menu sampai 20 lebih. Sedangkan angkringan hanya sedikit variasinya, yang mana standarnya hanya ada nasi sambel teri, nasi tempe, serta mie goreng dan rebus. Kemudian juga di tambah beberapa jenis gorengan dan jajanan yang sekiranya jumlahnya tidak akan sampai 20 jenis.
Tempat
Lokasi yang dipilih penjual angkringan yang biasa berjualan tepat dipinggir jalan atau memanfaatkan emperan toko. Kadang membuat para pembeli berpikir ulang untuk mau makan di pinggir jalan. Karena mereka juga pasti memikirkan aspek kenyamanan dan kebersihan makanan yang ingin mereka makan.
Jika dibandingkan dengan tempat makan lainnya seperti warmindo ataupun RM padang, tentu secara tempat angkriangan kalah dalam hal kenyamanan dan kebersihan. Sehingga konsumen yang juga mempertimbangkan aspek kenyamanan dan kebersihan saat makan akan lebih memilih makan di warmindo ataupun RM padang.
Parkir
