Kali ini, menjelang pergantian hari, entah tiba-tiba saya terpacu lagi untuk nge-blogsetelah review post yang sebenarnya sudah dipost sejak lama dari grup yang saya ikuti di Facebook. Tapi sebelum saya lanjut ceritanya, simak dulu postnya:
INDONESIA: APA YANG HARUS BERUBAH? Mengapa bangsa Australia yang ‘leluhurnya’ berasal dari tahanan kriminal Inggris kini mampu masuk 10 negara TERBAIK untuk tempat tinggal manusia dan memiliki tingkat kriminalitas terendah di dunia? Mengapa bangsa Indonesia yang dulu leluhurnya orang-orang yang Santun, Ramah, Berbudi Pekerti Luhur, dan Gotong Rorong, KINI masuk dalam kelompok negara TERGAGAL Dunia, dengan tingkat KORUPSI no. 3 dunia, tingkat kriminalitas yang sangat tinggi, dan moral yang sangat rendah? Ternyata semua itu berawal dari “sistem pendidikan” pemerintahannya. Para pendidik dan guru di Australia lebih khawatir jika anak-anak didik mereka tidak jujur, tidak mau mengantri dengan baik, tidak memiliki rasa empati dan hormat pada orang lain, dan etika moral lainnya ketimbang mereka tidak bisa membaca, menulis dan berhitung. “Guru-guru di Australia lebih prihatin jika murid-murid mereka memiliki perilaku moral yang kurang baik daripada memiliki prestasi nilai akademik yang kurang baik.” Mengapa? Karena menurut mereka untuk membuat anak mampu membaca menulis dan berhitung atau menaikkan nilai akademik, hanya perlu waktu 3 – 6 bulan saja dengan secara intensif mengajarkannya. Tapi untuk mendidik perilaku moral seorang anak, dibutuhkan waktu 15 tahun untuk mengajarkannya.
Waktu itu setelah membaca post tersebut, lagi-lagi saya teringat tepat pada tahun 2005 dimana saat itu saya lanjut bersekolah di kelas 4 di Richmond Primary School, Adelaide, Australia Selatan. Dari uraian di atas, saya sependapat bagaimana proses dan dampak dari sistem pendidikannya negara Kangguru tersebut walaupun memang tidak dicantumin sourceaslinya dari mana tapi mungkin saya punya beberapa fakta berdasarkan pengalaman pribadi selama tiga tahun dididik disana oleh guru-guru hebat saya waktu itu. Ada beberapa contoh positif dulu yang sering saya jumpai pada saat proses sistem pendidikannya maupun lingkungan diluar sekolah dan secara tidak sadar, habits positif itu terbentuk sampai sekarang masih ada di diri saya. 1. Ketika di kelas pada saat ujian matematika perkalian, saya pernah mencoba untuk melihat punya teman sebelah, saya masih ingat persis siapa namanya, Matthew Balales. Entah waktu itu niatnya mau nyontek atau sekedar mau melihat hasil pencapaian usahanya, dia serentak dengan nada lumayan keras di saat sedang hening, mengatakan “Stop copying me!”. Saat itu juga, saya langsung… Sreg! (nelan ludah). Jadi, sejak usia dini orangtua dan guru disana tampaknya memang sudah menekankan yang namanya pentingnya kejujuran. 2. Di saat sedang proses mengajar, saya sempat (maaf) mengupil, maklum waktu itu masih bocah hehe, tiba-tiba teman saya yang kebetulan dari Iraq, melapor ke guru kami, Mr. Russel, dengan meneriakkan dari tempat duduknya, “Mrs. Russell, Ari’s picking nose! Ewww.” Lagi-lagi saya langsung …. sreg! dan seketika itu juga langsung ditegur oleh guru saya waktu di kelas 5 karena kelakuan yang agak seronok walaupun memang terlihat sepele. Hmmm…. 3. Salah satu kebiasaan positif adalah dengan kegiatan rutin pada saat sebelum proses mengajar jam delapan pagi di kelas saya waktu itu dari kelas 4 sampai kelas 6 adalah setiap pagi hari Senin selalu diberikan kesempatan buat siapa saja oleh guru yang mau menshare pengalaman kegiatan weekendnya. Sistemnya disana kalau sudah hari Sabtu dan Minggu, kegiatan di sekolah benar-benar libur dan tidak seperti yang ada di Indonesia. Jadi mungkin ini salah satu sistem pendidikannya negara Kangguru untuk melatih softskill dan kemampuan speak Englishnya para muridnya yang latarnya hampir separuh bukan dari warga negara Australia. 4. Homeworknya sangat sedikit dibandingkan di Indonesia, saking sedikitnya, cuman butuh beberapa menit buat nyelesainnya. Waktu itu PR yang sering saya dapat adalah pelajaran English, tugasnya hanya mensalin kata-kata Bahasa Inggrisnya dari yang mudah sampai rumit secara bertahap tiap minggu. Misal, PR pertama dimintai 5 atau 10 kata Bahasa Inggris yang mudah lalu dibuat contoh kalimatnya sendiri. Dengan diberikan kesempatan waktu yang banyak, biasanya saya memanfaatkan waktu di malam hari dengan menchatteman-teman lewat MSN atau E-mail. Bayangkan, di jaman SD saja mereka sudah mengenal sama yang namanya chatting dan E-mail. 5. Biasanya kalau kegiatan di kelas pada saat sesi pertanyaan atau sekedar menshare, teman-teman saya selalu sangat berantusias untuk angkat tangan dengan setinggi-tingginya sambil melantangkan suara dengan tegas, “ME, ME, ME,..,ME!” Yap, berbeda disini yang (mugnkin) kebanyakan masih malu-malu atau belum berani untuk angkat tangan. Semuanya merupakan efek dari sistem pendidikan itu sendiri. 6. Pada saat selesainya istirahat di siang hari, setiap siswa memasuki kelas dan segera mengambil buku yang telah dipinjam dari perpustakaan, selang beberapa menit sekitar 15 atau 30 menit, semuanya duduk di kursi masing-masing sambil membaca buku sebagai bentuk refreshing setelah bermain ria (maklum, tempat playground dan lapangannya besar) di saat istirahat. Guru saya juga mengabsen setiap anak dengan memanggil namanya dan dimintai untuk mereview apa yang sedang ia baca. Hal yang menarik adalah semakin banyak buku yang ia baca akan semakin besar kesempatannya untuk mendapatkan penghargaan yang ditanda tangani langsung oleh pemerintah setempat. Caranya siswa tersebut setiap kali meminjam buku dari perpustakaan disarankan membuatlist buku-buku apa saja yang sudah dibaca. Mungkin ini salah satu cara pemerintah dan sekolah bagaimana siswanya agar terpacu untuk terbiasa membaca dan bercerita. 7. Salah satu kebiasaan masyarakat disana adalah mempunyai tanggung jawab yang tinggi dengan membuang sampah pada tempatnya . Hampir dimana-mana selalu ditemui tempat sampah yang besar yang tingginya seukuran anak berumur 12 tahun. Karena masyarakatnya seperti itu, saya pun sungkan kalau membuang sampah bukan pada tempatnya walaupun sekecil bungkusnya permen. Kalau dilapangan rumput, sering tersedia plastik hitam kecil bagi pemilik anjing yang mungkin secara tak sengaja hewan peliharaannya membuang kotoran di lapangan. Dampak positif ini, jujur saja masih saya terapkan sampai sekarang. Sampai saya sering kesal melihat orang atau teman saya sendiri membuang sampah sembarang, sampai kadang juga menegurnya dan tampaklah ekspresi wajahnya yang tak acuh atau paling tidak dari diri sendiri dengan memberi contoh yang baik dengan memungut sampah tersebut. Semoga di masyarakat lingkungan Indonesia suatu saat akan sadar dalam membuang sampah! 8. Ketegasan guru saya waktu itu juga terlihat bagaimana ketika ada teman saya yang suka melakukan onar, ribut, atau mengeluarkan perkataan kotor, guru saya akan memberi peringatan dengan menuliskan namanya di pojok kiri papan tulis. Kalau namanya sudah tertulis sampai ketiga kalinya maka siswa tersebut akan diminta untuk ke pojok depan atau belakang dengan menghadap tembok dengan duduk bersila sambil didiamkan beberapa menit di kelas agar dia merenung kesalahannya. Cara ini juga diterapkan di salah satu acara terkenal, The Nanny. Untungnya saya gak pernah di punish seperti itu 9. Siswa-siswi disana juga ditekankan cara bersepeda yang safety sejak dini yang langsung dibimbing oleh koordinator dari pemerintah setempat bagian transportasi. Mungkin ini salah bentuk agar siswa-siswi lebih minat dalam bersepeda dan hati-hati dengan mengikuti rambu-rambu yang sesuai aturan. Selain itu, siswa siswi disana juga ditekankan sejak dini dengan mengenal binatang yang ada di Australia maupun dari luar dengan berekreasi mengunjungi sejumlah tempat kebun binatang. Mungkin itu sebagian contoh yang bisa saya ceritakan bagaimana seriusnya pemerintah disana dalam soal pendidikan. Jelas terlihat juga bagaimana pemerintah dan sekolah disana dalam memperhatikan soal etika moral karena mengajarkan baca tulis dan berhitung bisa kapan saja bahkan setelah mereka sudah dewasa sekalipun masih dilakukan, sementara mengajarkan etika moral waktunya sangat terbatas, dimulai saat balita dan berakhir saat mereka kuliah. Sedang untuk mengubah perilaku moral orang dewasa yang terlanjur rusak, hampir sebagian besar orang mungkin tidak mampu melakukannya. Lalu bagaimana pemikiran Pemerintah, Guru & Orang tua di Indonesia? Bagaimana mestinya kita bertindak, semoga hal ini akan menggugah kita untuk segera ACTION positif, untuk diri, keluarga dan sekitarnya, demi semuanya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H