Seperti halnya bahasa, musik merupakan alat komunikasi yang efektif. Ia dapat digunakan sebagai alat untuk menyampaikan pesan dari si penggubah lagu kepadaaudience-nya. Pesan yang ditangkap oleh audience ini sebenarnya bersifat individu. Makna dalam musik menjadi milik komunal apabila pemahaman terhadap makna tadi di-share dgn audience yg lain. [caption id="attachment_308196" align="alignright" width="150" caption="Gitar"][/caption] Seperti halnya bahasa, musik merupakan refleksi dari kebudayaan sebuah masyarakat. Keberadaan musik sangat bergantung pada kebudayaan yang dianut oleh masyarakat itu. Kebudayaan tidak hanya memberi imbas pada perilaku manusia sehari-hari, tetapi juga pada benda-benda materi hasil dari perilaku tersebut, salah satunya adalah musik. Hanya wujud musik tidak dapat ditangkap oleh indra pengelihatan kita, melainkan oleh indra pendengaran. Seperti halnya bahasa, musik di dalam tiap-tiap kebudayaan memiliki kaidah-kaidah yang berbeda. Di dalam musik barat, tangga nada disusun berdasarkan frekuensi yang dikeluarkan oleh getaran sebuah benda, seperti nada A = 440 Hz. Tetapi banyak kebudayaan-kebudayaan lain yang tidak mengenal standar seperti ini. Di dalam musik sunda misalnya, frekuensi dari setiap nada tidak dibakukan seperti dalam kaidah musik barat. Pembedaan tiap-tiap nada hanya didasarkan pada interval antar nada. Adapula masyarakat tertentu yang tidak mengenal sistem oktaf. Sejumlah nada yang dimulai dari C sampai pada C berikutnya disebut sebagai oktaf. Tetapi tangga nada yang tidak mengenal oktaf bersifat linear, terus berlanjut tanpa harus kembali ke nada awal. Seperti halnya bahasa, musik bukan bahasa universal. Para ahli linguis mengatakan ada sekitar 5.000 bahasa yang digunakan di muka bumi ini. Musik pun demikian, banyak sekali ragam musik yang berasal dari tiap-tiap kebudayaan. Orang yang sedang berbicara dalam bahasa Inggris tentu tidak dapat dimengerti oleh setiap orang di seluruh dunia. Bisa jadi seseorang yang pernah mendengarkan musik-musik eksotis pun akan merasakan bahwa musik itu tidak enak untuk didengar atau tidak bermakna samasekali. Itu artinya bahwa musik tidak membawa makna yang sama bagi setiap orang. Secara populer musik disebut sebagai bahasa universal. Hal ini dapat dibenarkan apabila kita melihat musik dalam areal yang lebih sempit, contohnya dalam musik yang berasal dari kebudayaan barat (baca: Eropa & Amerika). Seperti telah kita ketahui bersama, bahwa bahasa dan musik sama-sama memiliki fungsi komunikasi. Karena keduanya dapat digunakan sebagai alat untuk menyampaikan ide-ide, gagasan-gagasan, dan konsep-konsep dengan efektivitas yang berbeda. Meskipun bahasa memiliki keterbatasan baik secara ketatabahasaan (gramatikal) maupun dalam kosa kata (leksikal), namun ia mampu untuk mengkomunikasikan banyak hal. Begitu pula halnya dengan musik. Musik memiliki keterbatasan tonalitas dan ritmis. Tetapi musik pun memiliki kemampuan seperti bahasa. Bahkan, bisa dibilang kemampuan komunikasi di antara keduanya nyaris tak terbatas. Kesamaan lain yang dimiliki oleh bahasa dan musik yaitu media ditransmisi yang digunakan untuk menyampaikan pesan kepada pendengarnya adalah suara. Memang di dalam kebudayaan-kebudayaan tertentu, pengucapan setiap fonem dalam bahasa sudah dapat diwakilkan melalui tulisan. Tetapi masih banyak kebudayaan yang tidak mengenal tulisan. Tentu saja kebudayaan yang demikian tidak bisa disebut sebagai kebudayaan yang tidak mengenal bahasa. Karena pada intinya, hal yang utama dalam bahasa adalah satuan bunyinya, seperti yang didefinisikan oleh de Saussure: "Bahasa adalah satuan bunyi yang arbitrer yang memiliki makna." Di samping itu, kebudayaan yang mengenal musik secara lisan saja bukanlah kebudayaan yang tak bermusik. Karena hal yang terpenting dalam musik juga sama seperti bahasa, yaitu satuan bunyinya. Hal ini diutarakan secara jelas dalam definisi musik Yudkin: "Musik adalah bunyi-bunyian yang sengaja disusun oleh manusia untuk diperdengarkan kepada manusia lain." Kesamaan-kesamaan itu banyak mengundang pemikiran selintas yang menyatakan bahwa musik sama dengan bahasa. Sebenarnya berbeda, tapi pemikiran itu bisa masuk di akal. Saya pun bisa menerima walaupun ada orang yang mengatakan bahwa musik merupakan bagian dari bahasa. Supaya tidak terlalu panjang lebar berdebat mengenai "apakah musik itu bahasa atau bukan", ada baiknya kita terima saja pemikiran seperti itu. Bahasa lahir karena kebutuhan manusia untuk menjelaskan isi kepalanya kepada orang lain. Misalnya saja Si A-Chong ingin menjelaskan sebuah konsep yang ada di kepalanya kepada Si Ahmad. Konsep itu berupa sebuah benda yang umumnya berkaki empat dan biasanya digunakan sebagai tempat duduk. Untuk menjelaskannya Si A-Chong tentunya tidak perlu mengaum berpanjang lebar seperti seekor singa. Tapi Si A-Chong dapat mengutarakannya dalam satu kosa kata dalam bahasa, yaitu "kursi". Seluruh umat manusia di muka bumi mempunyai konsep yang relatif sama mengenai benda itu. Tapi setelah disimbolkan dalam bahasa menjadi berbeda-beda. Dalam bahasa kita, benda itu disebut sebagai kursi atau bangku. Tetapi dalam Bahasa Inggris benda itu disimbolkan dalam satuan bunyi yang berbeda, yaitu chair. Jadi konsep boleh sama, tapi belum tentu simbolnya sama. Lalu bagaimana menyimbolkan sebuah konsep dalam musik? Satu hal yang perlu diingat adalah proses pen-transformasian konsep menjadi sebuah simbol dalam bahasa dan musik sedikit berbeda. Dalam bahasa sebuah konsep di-transformasikan ke dalam bunyi bahasa secara arbitrer. Pengertian harfiah dari arbitrer (arbitrary: Ing.) adalah semena-mena. Hanya saja semena-mena di sini bukan berarti semau gue atau sakarep dewek, tetapi lebih pada pengertian semena-mena yang sesuai dengan kesepakatan bersama. Sementara pen-transformasian konsep menjadi simbol dalam musik sifatnya lebih subyektif. Artinya proses itu seluruhnya diserahkan kepada penggubah lagu, bukan kepada masyarakatnya. Misalnya Si Dadung dan Si Budi sedang menciptakan sebuah lagu instrumental, yaitu lagu yang tidak mempunyai lirik. Baik Si Dadung dan Si Budi ternyata melahirkan karya yang hampir sama, baik susunan nada pada melodi dan pengiringnya maupun hentakan ritmenya. Selain itu susunan lagunya pun sama, misalnya susunan itu terdiri dari:
- intro
- verse pertama
- reffrain
- verse kedua
- reffrain
- interlude
- reffrain
- outro
Tetapi apakah tema yang menyertai dua buah musik instrumen tadi sama? Jawabannya belum tentu. Karena susunan lagu yang serupa tidak menjamin kesamaan tema dalam isinya. Contoh lainnya akan saya ambil dari lagu yang berlirik, seperti lagu Bujangan yang diciptakan oleh Rhoma Irama dan lagu Bujangan-nya Koes Plus. Kedua musisi itu mengangkat satu yang sama yaitu mengenai bujangan, gaya hidupnya, dan pemikiran-pemikiran "liarnya". Apabila kita lihat lebih dekat lagi kedua lagu tersebut secara jelas merupakan dua buah karya yang memiliki tonalitas dan ritmis yang jauh berbeda. Dari contoh itu, satu hal yang ingin saya tekankan adalah, bahwa dua buah karya yang berlirik sama belum tentu memuat tema yang sama. Begitu juga sebaliknya, dua buah karya yang berbeda, bisa saja berisi tema yang sama. Kedua contoh kasus tersebut adalah lagu-lagu yang memiliki judul yang sama. Judul merupakan representasi dari tema lagu secara keseluruhan. Pencipta lagu biasanya memilih judul yang cocok dan bisa mewakili hasil karya yang dibuatnya. Tapi judul hanyalah sebuah judul. Pendengar musik tidak dapat memahami apa isi sebuah lagu dengan hanya diberitahukan judulnya saja. Untuk mengetahui keseluruhan isi dari sebuah lagu, seorang pendengar membutuhkan lebih dari itu. Pertama-tama ia harus diperdengarkan lagunya terlebih dahulu. Barulah pendengar tadi dapat menginterpretasi isi dari lagu itu. Untuk sebuah karya musik yang berlirik, si pendengar tidak perlu banyak berpikir untuk mengetahui apa tema dari lagu itu. Karena tema dalam lagu yang berlirik sudah dijelaskan dalam lirik itu sendiri. Lain halnya dengan musik instrumental. Interpretasi terhadap musik instrumental dibutuhkan pengetahuan dan pemahaman terhadap kaidah-kaidah musik, juga pengalaman dan kejeliannya. Walaupun demikian, interpretasi dari tiap-tiap pengamat musik tetap bisa berbeda-beda. Interpretasi yang paling orisinil dari sebuah lagu instrumental adalah milik si pencipta lagunya. Interpretasi yang orisinil memang bukan hal yang mustahil untuk kita peroleh. Kita bisa memperolehnya langsung dari penciptanya, atau lewat literatur-literatur yang bisa dipertanggungjawabkan. Tetapi dengan hanya mempelajari isi sebuah lagu dari komposer tertentu, bukan berarti kita bisa memahami keseluruhan dari tema lagu hasil karya komposer tadi. Setiap penciptaan sebuah lagu, biasanya dibarengi dengan penciptaan anturan-aturan main yang hanya berlaku dalam lagu tersebut. Coba lihat karya Chopin, tema dari lagu-lagu cinta hasil karyanya, selalu dimaikan dengan aturan permainan nada dan ritme yang berbeda-beda.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H