Sebuah cermin tanpa pemilik tergeletak disudut ruangan
Itu bukan cermin ajaib, namun sampai saat ini Ia mampu bertahan
Warnanya ungu kebiruan memancarkan sinar yang tak sekedar indah
Berujung tajam berdimensi bagai gunung bagi pendaki
Tak pernah kuduga bahwa akhirnya badai menghantam cermin itu
Tertumpuk serpihan pecah. Cermin merintih namun berharap berdetak
Air mata dan kalbu nyeri tersayat, cermin itu telah retak
Lihat kerapuhan dan keraguan terpahat diwajah cermin itu
Meski jemari tergores sangat dalam, berdarah.
Meski jiwa luka dan berlalu tanpa arah
Terbajak ladang tiap hari menggempur jatuh cermin itu.
Tak terhitung cermin retak bangkit dan tersungkur
Ingin kuenyahkan Jiwa yang hancur, namun ketakutan melebur
Ku ambil cermin itu dan mulai berkaca hanya untukku.
Sudut otakku berdebu.
Dimana senyum manis yang seperti dulu?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H