Tahun-tahun politik membawa persaingan ketat bagi seluruh warga netizen. Hal ini dibuktikan dengan banjirnya komentar warga netizen di sosial media (sosmed) yang terus menerus mengkritik dan mendukung pilihan masing-masing.
Tidak dapat di pungkiri sebuah tragedi terjadi pada tahun 2019 pendukung salah seorang palon capres membuat kericuhan di kantor Bawaslu. Ini menunjukkan tahun-tahun politik bukan lagi pesta bagi rakyat untuk memilih siapa yang akan memimpin dan mewakili aspirasi mereka. Tetapi Memecah-belahkan bangsa Indonesia, dan mengotori sistem politik, yang seharusnya pertarungan politik sehat ini menjadi ajang adu domba.
KIP atau Komisi Independen Pemilihan telah membuat berbagai sosialisasi di akhir-akhir 2023 terkait pemilihan mulai dari mengenalkan usia pemilih, politik damai, hingga undang-undang yang harus di turuti oleh seorang calon-calon pemilihan. Dengan adanya sosialisasi ini kita mengharapkan tragedi 2019 tidak terulang kembali. Namun, dewasa ini memanasnya Sosial media dengan komentar warga netizen apakah akan menjadi perang media di kalangan masyarakat Indonesia ?.
Kita telah melihat bersama pada debat capres ke-3 dengan tema pertahanan, keamanan, hubungan internasional dan geopilitik yang di selenggarakan oleh KPU (komisi Pemilihan umum) pada minggu, 7 Januari 2024, seorang paslon capres menunjukkan rasa ibanya kepada rakyat Indonesia dengan mata yang berkaca-kaca merupakan bentuk personifikasi ke ikhlasan beliau selama menjabat sebagai Menhan (Mentri Pertahanan).
Padahal dalam suatu perdebatan, seseorang kandidat tidak boleh menunjukkan kelemahannya pada lawan. Namun, debat capres ke-3 ini mencuri pehatian dan rasa iba para relawannya dan warga net yang khususnya pendukung salah seorang paslon. Warganet pun menghujani berbagai komentar pada paslon lainnya, dengan dalih mereka membuka keamanan negara.
Bila kita menonton debat capres internasional, indonesia masih terbilang jauh, mereka saling membuka kinerja satu sama lain, bukan menyerang sentimen pribadi. Apakah debat ini menjadi ajang ke intelektualan pemimpin kita atau hanya sekedar euforia untuk saling sorak -menyoraki; alangah baiknya debat capres seperti ini tidak diselenggarakan kembali.
Debat capres merupakan suatu event ruang publik untuk melihat para capres menunjukkan keunggulannya, kebijakan, dan aspirasi ke depannya bagi indonesia maju. Bukan hanya menyerang sentimen pribadi dan mengkritik satu orang saja, inilah kesalahan dari dua paslon lainnya.
Budaya seperti ini membuat masyarakat semakin bingung dan buta kepada politik. Apalagi kita melihat saat debat telah memanas seorang timses salah sebuah paslon mendatangi moderator selaku pembawa acara debat. Hal ini mengundang negative thinking atau tanggapan negatif terhadap publik.
Logical Fallacy (kesalahan sangka) publik semakin menjadi-jadi, banyak di platform media yang membuat potongan vidio capres ini menjadi black campaig atau politik hitam, mulai dari istilah-istilah konyol politik gemoy, slepet sarung, dan cowman (cowok cari aman) atau pakaian norak menjadi strategi politik. Betapa hilangnya budaya nasionalis seorang pemimpin. Mestinya calon pemimpin harus menunjukkan royalitasnya kepada rakyat indonesia. Bukan hal-hal konyol yang di poleskan.
Negara kita berlandaskan demokrasi bukannya negara diktaktor atau politik dinasti, seorang pemimpin tidak terlalu tegang, tetapi tidak perlu menunjukkan hal-hal konyol lainnya yang membuat Viral lagi. Penulis berkaca dari sosok Abdurrahman Wahid atau di sapa dengan gus dur seorang tokoh pluralisme yang menjunjung kesetaraan dengan perawakan yang lucu, bukan menunjukkan ke konyolan publik. Entah kampanye sekarang harus mengikuti zaman harus viral, karena warganet kalau tidak mengundang ke konyolan tidak akan viral.