Tiga orang di depanku terlihat perlente dan keren. Â Nandi yang tinggi besar terlihat macho dengan baju dan celana ngepasnya. Â Yandi meski hanya berkaos kerah, Â namun dari bahannya aku tahu harganya mahal. Â Begitu juga baju kasualnya Barga. Â Sangat pas di tubuh suburnya. Â Kalau ada yang sangat jauh berbeda dengan mereka ya aku ini.
Aku hanya menggunakan celana lama butut serta kaos dekil dan lusuh. Tidak wangi lagi. Beda jauh dengan mereka yang dari jauh sudah tercium aroma kesegaran tubuhnya.
Tapi di tempat seperti ini justru akulah yang sangat menikmati. Â Lihatlah mereka bertiga. Â Mereka terlihat kikuk duduk mencangklong, sedangkan aku bahkan duduk langsung di atas tanah.
Kusapu pemandangan indah di depanku.  Bagi orang kota,  hamparan tanaman cabe  berwarna hijau berpadu dengam warnah merah buahnya mampu mengurangi tingkat kestresan mereka.  Pengaturan komposisi tanamannya seolah terlihat seperti lukisan besar dengan paduan warna yang harmoni.  Aku saja  yang tiap hari menyaksikannya hampir tak pernah bosan.
"Aku tak bisa ikut bersama kalian. " Itu adalah kalimat pertama yang kuberikan setelah hampir lima menit terdiam menghadapi desakan mereka.
"Jangan bodoh, Aliq. Â Kamu langsung memperoleh posisi tinggi, Â supervisor. Â Akan segera dipromosikan jika dalam satu semester berkinerja baik. Â Kepala cabangku sudah setuju bulat setelah kuceritakan prestasimu, baik yang akademik maupun lainnya." Kali ini Nandi yang mendesakku. Â Kedua temanku yang lain ikut menekanku melalui tatapan mereka.
Aku tersenyum. Â Sia-sia saja mereka membujukku.
"Apa sih enaknya di sini? Â Tiap hari bercampur lumpur dan air kotor! Bukankah rentan penyakit?" Barga ikut menekanku tajam. Tatapannya kuartikan merendahkan.
Aku masih tersenyum. Â Namun kali ini senyumku bercampur kejengkelan.
Cukup sudah kalian merendahkanku dan merasa bangga dengan pilihanmu. Aku mendengus.