Segelas teh disajikan pagi ini.  Asapnya mengepul membawaku kehadapanmu. Kau menyuruhku cepat mereguknya, lewat isyarat matamu.
Kau telah begitu mengenali semua lekuk lidahku. Â Semua nikmatku telah kauprediksi sedemikian rupa, sehingga aku tahu teh ini seharusnya berwarna bagaimana dan manisnya seperti apa. Â Aku takluk pada nikmat yang entah bagaimana selalu ada. Â Aku tak bisa menggambarkan rasa selain suka.
Segelas teh pagi ini masih mengepul. Â Uapnya menggodaku untuk menyesapnya.
Tiba-tiba aku terjaga. Â Warna teh ini berbeda, rasanya tak seperti biasanya. Â Kutatap matamu.
Aku terkesiap. Â Mata itu hanya mirip milikmu. Â Mata anak sulungmu.
"Jangan terlalu manis pak, pesan Ibu."katanya mengaburkan sosokmu.
Aku hanya tergugu. Â Membisu sambil menahan air mataku. Â Â
Tangerang Selatan, 9 Agustus 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H