[caption id="" align="aligncenter" width="549" caption="Pecahan 100 dollar AS| Kompasiana (Kompas.com, BRENDAN SMIALOWSKI / AFP)"][/caption]
Normalnya, sebuah Negara mendapat pendanaan salah satunya dengan memungut pajak dari rakyatnya. Namun, bagi Negara superpowermereka dapat memungut pajak dari Negara-negara lainnya. Itulah yang berabad-abad kita saksikan terjadi dalam imperium yunani, romawi, ottoman, dan bahkan hingga Inggris raya.
Namun, untuk pertama kalinya, Amerika serikat pada abad 20 bisa memajaki negara-negara lain dunia secara tidak langsung melalui beban inflasi penciptaan mata uang dollar yang tidak didukung dengan logam berharga. Mata uang dollar yang terdistribusi secara luas menempatkan Amerika pada tempat istimewa. Negara-negara lain harus berkeringat menyerahkan hasil buminya dari minyak, tuna, rotan, kayu, emas, tembaga sementara sang superpower cukup menukarnya dengan uang kertas yang bisa dicetak kapan saja dan tanpa memiliki nilai intrinsik sedikit pun. Risiko terjadinya inflasi dari penciptaan dollar yang berlebihan dengan cerdik dialihkan kepada 60 % lebih penduduk bumiyang menggunakan mata uang ini.
Stabilitas mata uang
Dalam perdagangan internasionaltidak semua jenis mata uang memiliki legitimasi dan dapat dipergunakan secara luas. Negara berkembang misalnya, jarang yang menggunakan mata uang local untuk urusan transaksi internasional karena mata uang mereka dianggap volatile (tidak stabil). Lantaran itu,mereka menggunakan uang yang relative kuat seperti dollar.
Kriteria stabil ini perlu dites dan diteliti lebih lanjut. Apakah dollar benar-benar mewakili mata uang yang stabil?Banyak ekonom yang berpendapat selama itu masih berupa fiat money, dimanapun ia akan menyimpan bom waktu ketidakstabilan sepanjang masa.Salah satu argumen utamanya, karena pemerintah gampang tergoda menerbitkan uang dalam jumlah yang tak terbatas (unlimited) dengan konsekuensi meroketnya tingkat inflasi.
Bisa disimpulkan bila Amerika menikmati pendapatan yang luar biasa besar dari penciptaan uang ini atau yang dikenal dengan istilah seigniorage(Pendapatan dari penerbitan mata uang). Keuntungan dari penciptaan mata uang semakin besar ketika banyak pendukung yang mensirkulasikan mata uang dollar tersebut ke seluruh penjuru dunia. Karena itu, sangat tidak adil bagi kebanyakan Negara berkembang di mana para buruh bekerja membanting tulang hanya untuk mengejar pendapatan $2-$5 per hari, sementara The Fed dengan sangat leluasa bisa mencetak dollar hampirunlimited untuk membiayaianggaran belanja Negara dengan konsekuensi orang seluruh dunia pengguna dollar ikut “menyumbang” dengan membayar inflasi yang diakibatkannya. Dengan kata lain, pemerintah Amerika secara tidak langsung bisa memajaki pemegang dollar di seluruh dunia melalui skema anggaran yang terinflasi.
The Fed dapat leluasa mencetak Dollar
Tak dapat disangkalsaat ini dollar AS menjadi mata uang yang paling banyak dipakai di penjuru bumi. Dollar tidak hanya dipakai dalam perdagangan internasional, tapi juga menjadi mata uang yang paling banyak disimpan secara resmi sebagai cadangan devisa oleh banyak negara.
Kenapa kebanyakan Negara berlomba-lomba menyimpan dollar, bukan euro, poundsterling, yen. Boleh jadi alasan tersebut karena dollar menjadi satu-satunya alat pembayaran untuk komoditi minyak (minyak merupakan sumber energi bagi negara manapun).
Alasan rasional lain karena peran Amerika sebagai mesin ekonomi dunia. Ketika kemudian dalam perdagangan dunia, impor AS melebihi ekspornya (diperkirakan 75% total impor dunia diserap oleh Amerika sendiri), tak pelak dollar membanjiri pasar dunia. Para eksportir dari belahan dunia menerima pembayaran impor dari mitra dagangnya dalam bentukdollar. Kemudian mereka menukarkan sebagian dollar tersebut ke dalam mata uang domestik ke bank sentral. Ketika dollar masih di-back up dengan emas, sebagian aliran dollar itu oleh bank sentral kemudian dikonversimenjadi emas dengan menukarkannya ke bank sentral AS, The Fed.
Namun ketika tuntutan konversidari dollar ke emas mulai menggunung dan mulai sulit dipenuhi, AS memainkan kartunya dengan menghentikan konvertibilitas Dollar sekaligus menandai ambruknya sistem Bretton woods yang menghargai 1 ons emas = 35 Dollar AS. Mulai saat itu juga para eksportir dari seluruh belahan dunia menerima pembayaran komoditinya dengan Dollar-uang kertas yang nominalnya tak segram pun didukung dengan emas.
Tiga indikator dasar
Kemampuan Dollar untuk terus bertahan menjadi alat pembayaran utama bisa dideteksi dari tingkat kepercayaan penggunanya. Kepercayaan tersebut sangat bergantung pada kemampuan AS dalam memelihara stabilitas dan kesinambungan fundamental ekonominya. Inflasi, pengangguran, dan tingkat hutang merupakan tiga indikator dasar yang dapat dijadkan acuan dalam menilai stabilitas fundamental ekonomi suatu Negara.
AS berhasil mengendalikan tingkat inflasinya sejaktahun 1982 dan seterusnya hingga tahun 2007 berfluktuasi tipis antara 1% hingga 6 %. Tingkat pengangguran dapat dikatakan dalam posisi yang moderat berkisar antara 4% hingga 9 % dengan catatan semakin menurun dari tahun ke tahun. Dari 2 indikator tersebut dapat dikatakan bahwa AS tidak memiliki masalah serius dalam fundamental ekonominya.
Namun bagaimana dengan tingkat hutang luar negerinya?? Total outstanding hutang AS dari tahun ke tahun terus meningkat. Pada tahun 1998 jumlahnya mencapai 5,5 triliun dollar lebih dan meningkat menjadi 6,2 triliun di akhir tahun 2002. Bila sebelumnya AS dikenal sebagai Negara pemberi hutang, saat ini beralih menjadi Negara yang terjerat hutang yang tak terbayangkan. Bedanya, bila Negara-negara miskin harus berjuang sendirian untuk melunasihutangnya, AS bisa mendapatkan solusi yang lebih elegan dengan melibatkan seluruh masyarakat dunia pengguna Dollar untuk bersama-sama menanggung inflasi yang diakibatkan Dollar tersebut.
Manipulasi pasar modal domestik
Robert Heller, anggota Federal Reserve Board , pada tahun 1989 mengeluarkan pernyataan bahwa atas nama stabilitas ekonomi, The Fed bisa saja membeli saham di pasar modal dalam jumlah besar untuk menstabilkan pasar dari ancaman inflasi akibat dari banyaknya jumlah Dollar yang beredar di masyarakat. Pernyataan ini sangat irasional karena terdapat berbagai persoalan teknis seperti, bagaimana cara The Fed (sebagai bank sentral) untuk masuk ke dalam mekanisme pasar modal.
Ide menstabilkan pasar ini mengingatkan kembali tentang keberadaan tim khusus untuk menangani pasar modal setelah terjadinya market crash 1987. Tim yang dikenal dengan WGFM (Working Group on Financial Market), didirikan pada tahun 1988, adalah tim ad hoc yang terdiri dari menteri keuangan, gubernur The Fed, ketua Securities and Exchange Commision (semacam Bappepam), dan ketua Commodity Futures Trading Commision. Tugas utama dari tim ini adalah untuk mangambil tindakan yang“dianggap perlu” untuk menjaga daya saing dari pasar uang AS.
Dalam kesempatan lain, Alan Greenspan pernah menyatakan bahwa The Fed juga melakukan upaya-upaya lain yang disebut “unconventional method” untuk menstabilkan ekonomi. Tidak menjelaskan secara terperinci apa maksud metode yang tidak konvensional itu, namun sumber yang tidak mau disebut nama dari The Fed mengakui langkah yang dimaksud adalah mengordinasikan korporasi-korporasi AS untuk saling memborong saham korporasi AS lainnya dalam rangka menarik Dollar yang beredar“terlalu banyak” di masyarakat.
Kesimpulan
Ketika suatu sistem dipimpin oleh pihak yang kurang tepat, maka akan hadir kebijakan yang tidak adil. Faktanya, AS adalah satu-satunya Negara yang dapat mencetak mata uangnya sendiri tanpa khawatir akan meroketnya tingkat inflasi.
Sistem ini tidak disia-siakan oleh AS. Kemampuannya mencetak uang tanpa batas telah memicu kemauan pemimpin Negara tersebut untuk menjadi rakus akan kekuatan yang dibuktikan dengan menjadi promotor perang Irak, menciptakan konspirasi kemiskinan di Darfur, serta menjaga ketidakstabilan perdamaian timur tengah yang kesemuanya itu dilakukan melalui mesin-mesin perangnya.
Menjadikan fiat money yang tak sedikit pun di-back up dengan logam mulia bagaikan menyimpan bom waktu yang siap meledak kapan saja. Hal tersebut terjadi ketika disekuilibrium ekonomi tak tertahankan lagi seperti peristiwa great depression yang melanda AS dan krisis moneter yang menghantam seluruh Negara Asia tenggara. Ekonom-ekonom dunia memahami dengan baik fakta tersebut namun yang mereka lakukan justru tetap mempertahankan fiat money dan sekedar menunda terjadinya krisis keuangan berikutnya.
Pertanyaannya, perlukah kita kembali memilih standar emas atau sistem yang mendekati seperti mekanisme Bretton Woods dulu?
“Gold is going to be part of the structure of international monetary system for the 21st century.”
Robert A. Mundell, Nobel Laureate.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H