Mohon tunggu...
Arif Ulumando
Arif Ulumando Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa pinggir jalan

Perkenalkan nama saya arif ulumando, biasa di sapa sama teman-teman arif Jr, kuliah di sala satu universitas di kota kupang. Jurusan Antropologi sosial, kebiasaan nongkrong di warkop, hobi bermain gitar, dan suka menulis. Semoga tulisan beta bisa menghibur bagi pengunjung kompasiana. Yakusa💚🖤 #Penyair ulung

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Negeriku Telah kehilangan Arah

6 September 2022   12:15 Diperbarui: 10 September 2022   13:20 69
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"I"

  Tangisan ibu pertiwi kini kembali tedengar, di tahun 2022 banyak kasus yang terjadi di negri ini, dari kasus perselingkun, pembunuhan, perebutan dana Terliunan sampai naiknya harga BBM. Alangka lucunya negriku ini banyak dongeng yang di mainkan,dari dongeng yang menghibur, tangisan, hinga sampai ke jeritan rakyat. Kita baru saja melewati hut RI yang ke 77, sebenanya di umur yang suda rentah negri ini bisa memberika kesejatra untuk rakyatnya, lantas masi saja kau berikan kesengsaraan untuk rakyatmu, katanya negri ini kaya akan SDAnya, kenapa hutang negri ini makin meroket, rasanya para pemimpin negriku saat ini laghi main petang umpet, banyak anggaran yang di keluarkan dengan dali dana anggaran untuk rakyak, namaun hal itu hanyalah doneng semata yang di publikasikan lewat berbagai media.


  Lantas anak dari seorang petani apakah bisa melanjutkan pendidikan, jika kebijakan merusak cita-cita anak desa untuk sekolah, ijinkan beta untuk bakar ban. Teriak-teriak di jalan agar telinga lebih peka, mereka yang tak lahair dari air keringat ibu petani, atau tak perna bermain sampai tertidur di bawa pohot dan di atas rumput-rumput ilalang tempat biasa ayah istirahat ketika lelah berkerja, tak akan ikut merasakan kesedihan ini, jadi stop basong ba mara ketika melihat beta tariak di jalan, apa rasanya ketika kau menjadi saksi bau badan ayah, atau sakitnya ibuh yang melawan teriknya matahari demi uang sekolah anaknya. Jangan benci kami ketika ribut di jalan, kita tumbu tak sama.
  Stop sudah, terlalu banyak air mata ibu pertiwi yang mengalir atas ulamu, aku tak mau ibu pertiwiku bersedi terus, semoga kedepanya negeri ini tak bubar.


Kupang, 06 september 2022
#penyair ulung

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun