KEDUA tangannya menyilang erat di dada, matanya melotot tajam, jempol diikuti tangan kanannya tak jarang menahan dagunya. Rambutnya yang sudah memutih semakin kontras dengan setelan jas hitam yang dipakainya. Claudio Ranieri, nyaris seluruh dunia mengenal sosok itu.
Saya bukan orang yang pernah duduk semeja dengan pelatih berkebangsaan Italia ini, bukan teman ngopi yang bisa bertemu dengannya setiap waktu, saya hanya penikmat bola dan pengagum klub dari London, Chelsea. Ranieripernah disana sebelum 2004.
Berbicara tentang Ranieri, berarti berbicara tentang Sepakbola, berbicara tentang Ranieri, berarti berbicara tentang Liga Inggris, tentang Leicester City, tentang Jamie Vardy, tentang Riyad Mahrez, tentang pemain yang tidak diterima oleh klub profesional lain, tentang perjuangan menjadi pemuncak klasemen Liga Inggris.
Saya tidak ingin memuji berlebihan, karena Ranieri sudah dipuji oleh dunia. Kalau dunia menyebut untuk Martunis Ronaldo (penyintas tsunami Aceh) adalah Dongeng dalam dunia Sepakbola, maka Leicester City dan Ranieri biar pembaca yang menyimpulkan. Semoga tidak berlebih.
Liga Inggris bukan liga yang mudah, kucuran dana dari pemilik klub yang berlimpah untuk membeli segudang pemain hebat, belum tentu bisa meraih juaranya.
Leicester City adalah klub yang baru promosi ke kasta tertinggi di Liga Inggris, musim sebelumnya Leicester seakan hanya menjadi pelengkap papan klasemen liga ternama ini. Bahkan, banyak pengamat yang menilai, kehadiranRanieri pada musim panas lalu adalah petaka bagi Leicester City yang tengah membangun tim.
Terlebih, pelatih 64 tahun itu, akrab dengan julukan 'Tinkerman', kebiasaannya yang suka gonta-ganti formasi tim.
Secara raihan trofi, Ranieri bisa dibilang tak begitu sukses. Prestasi terbaiknya adalah meraih trofi-trofi turnamen seperti Coppa Italia, Super Coppa, Copa del Rey, UEFA Intertoto, dan UEFA Super Cup. Ya, meski sejumlah tim besar pernah dilatihnya, ia belum pernah sekalipun menjadi juara liga.
Tercatat 14 tim telah ditukangi Ranieri, termasuk Fiorentina, Napoli, AS Roma, Juventus, Parma, Inter Milan Chelsea, Atletico Madrid, dan Valencia.
Dalam catatan Ranieri yang diterbitkan theplayerstribune.com 6 April 2016, Ranieri menulis: Saya ingat pertemuan pertama dengan presiden klub ketika tiba di Leicester City musim panas lalu. Dia duduk bersama saya dan berkata, "Claudio, ini adalah tahun yang penitng bagi klub. Sungguh sangat penting bagi kami untuk bertahan di Premier League. Kami harus tetap bertahan."
Saya menjawab, Oke, pasti. Kami akan bekerja keras di lapangan latihan dan mencoba menggapainya." 40 poin adalah target yang dibebankan pada Ranieri untuk Leicester City bertahan di Premier League, untuk memberikan musim lain kepada fans.