Oleh, ARIFUL AZMI USMAN
Aceh sebagai sebuah bangsa yang sangat terbuka bagi pendatang, sudah dibuktikan sejak ratusan tahun silam. Lonceng Cakra Donya yang saat ini tersimpan baik di Museum Aceh, menjadi ingatan bahwa Aceh sebagai sebuah bangsa yang berperadaban dan telah menjalin persahabatan dengan Tiongkok sejak abad ke-15 silam.
JIKA saudara berkunjung ke Ibu Kota Provinsi Aceh, Banda Aceh, salah satu tempat yang memiliki kisah masa silam Aceh yang gemilang adalah Museum Negeri Aceh, terletak di Jalan Alauddin Mahmud Syah, museum ini menyimpan berbagai peninggalan sejarah Aceh yang telah berabad-abad lamanya. Salah satunya adalah lonceng Cakra Donya.
Di halaman yang tidak jauh dari Museum yang diresmikan pada tanggal 31 Juli 1915 itu, lonceng yang memiliki ketinggian mencapai 1,25 meter, dan diameter 1 meter itu terlihat masih kokoh. Pada bagian luarnya, terukir hiasan dan tulisan Arab serta China.
Aksara Tiongkok yang terdapat pada lonceng, para ahli membacanya Sing Fang Niat Tong Juut Kat Yat Tjo, yang berarti “Sultan Sing Fa yang telah dituang dalam bulan 12 dari tahun ke 5”. Sementara goresan tulisan Arab sudah kabur dimakan usia.
Dalam catatan Ma Huan (Ying-yai sheng-lan) dalam pelayarannya bersama dengan Laksamana Cheng Ho, dicatat dengan lengkap mengenai kota-kota di Aceh seperti, A-lu (Aru), Su-men-da-la (Samudra), Lan-wu-li (Lamuri). Dalam catatan Dong-xi-yang- kao (penelitian laut-laut timur dan barat) yang dikarang oleh Zhang Xie pada tahun 1618, terdapat sebuah catatan terperinci mengenai Aceh modern.
Kerajaan Samudra Pasai adalah sebuah kerajaan dan kota pelabuhan yang ramai dikunjungi oleh para pedagang dari Timur Tengah, India sampai Tiongkok pada abad ke 13 -16. Samudra Pasai ini terletak pada jalur sutera laut yang menghubungkan Tiongkok dengan negara-negara Timur Tengah, dimana para pedagang dari pelbagai negara transit sebelum melanjutkan pelayaran ke/dari Tiongkok atau Timur Tengah, India.
Sejarah mencatat, hubungan baik dua kerajaan Islam, antara Aceh dan China, lonceng tersebut sebagai buktinya. Laksamana Cheng Ho yang kala itu mengunjungi Nusantara selama tujuh kali. Pada kesempatan keempatnya, tahun 1414 M memberi sebuah lonceng raksasa kepada Sultan di kerajaan Samudra Pasai (wilayah Aceh Utara saat ini -Red) sebagai hadiah dari Kaisar penguasa Tiongkok. Lonceng berbentuk stupa ini, dibuat pada 1409 M.
Pada masa Kesultanan Aceh, dibawah Sultan Iskandar Muda (1607-1636), lonceng tersebut kerap digunakan dalam Kapal Perang Kesultanan Aceh, Kapal yang bernama Cakra Donya itu juga mampu menampung sekira 800 prajurit.
Di zaman yang berbeda, tahun 2016 kini, para pedagang termasuk pedagang dari Cina selain ada yang tinggal dan berdagang secara permanen di Ibu kota Aceh, mereka tinggal dalam perkampungan Cina di ujung kota dekat pelabuhan, Peunayong. Rumah mereka berdekatan satu sama lainnya.