Saat ini saya mendengar banyak teman yang mengeluhkan anak-anaknya tidak mendapatkan sekolah negeri akibat peraturan yang masih menerapkan batas usia. "Kalah di umur, anak aku ... sedih deh. Padahal nilainya bagus-bagus. Sekarang bingung cari sekolah swasta. Biaya tak terjangkau," ucap seorang teman suatu hari kepada saya.
Sistem Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) dalam tiga tahun belakangan ini telah menjadi momok bagi orangtua. Banyak kisah menarik. Seorang teman lain juga bercerita bahwa hampir separuh jumlah siswa SMP anaknya tidak diterima di sekolah negeri. Ini fakta yang tidak bagus sih, kalau memang benar begitu.
Masih kata teman saya ini, ada beberapa sekolah swasta yang mengalami bedol deso (pindah berbondong-bondong) siswanya ke sekolah negeri karena usia mereka pasti lebih tua satu tahun dari mereka yang baru lulus. Ini juga fakta yang kurang asik didengar.
Lalu apa yang harus dilakukan orangtua bila anaknya mengalami kejadian ini? Teman-teman yang kisah anaknya saya tulis tadi mengaku pasrah saja. Ada yang masih berjuang mencari sekolah swasta saat saya menulis artikel ini, ada juga yang masuk ke sekolah swasta sekenanya aja. "Yang penting terjangkau," kilah teman saya itu.
Sejujurnya saya pun sulit membayangkan kegalauan mereka. Pasti tidak mudah mengatasi. Namun, ada satu hal yang menurut saya perlu dilakukan orangtua di era sekarang yang penuh dengan hal-hal yang serba instan (termasuk mie instan ... hehe). Yaitu, pemahaman tentang kata "sukses".
Di bawah ini saya ingin berbagi apa yang saya alami dan terapkan kepada anak saya selama ini tentang definisi dan prinsip kata "sukses". Menurut saya pribadi hal ini akan bisa membantu untuk pengkondisian mental anak saat menghadapi hal-hal yang di luar ekspektasi mereka seperti saat ini; tidak diterima sekolah negeri atau apa pun yang mereka harapkan. Â
Sukses bukan melulu tentang uang.Â
Ada yang bilang begini, "Uang memang bukan segalanya, tapi tanpa uang segalanya tidak ada apa-apanya." Saya tidak sepenuhnya mendukung pendapat ini. Karena bila segala sesuatu diukur dengan uang, bukan hanya kita akan menjadi orang yang terlalu money-oriented, tapi juga minim rasa kemanusiaan.
Sudah banyak kisah orang sukses secara finansial, tapi tidak bahagia dalam hidupnya. Yang paling nyata adalah kisah para artis senior yang dulu terkenal sukses dan berlimpah harta tapi kini justru menderita.
Jadi yang tepat menurut saya adalah kalimatnya sepert ini, "Uang memang bukan segalanya, tapi tanpa uang kita masih bisa berharga." Dengan kata lain, kita harus tetap punya harga diri saat tidak memiliki uang. Dan harga diri ini memang tidak tercipta dalam semalam. Perlu konsistensi dalam membentuk dan menjaga kredibilitas personal.Â
Sukses tidak melulu soal lulusan sekolah/kampus tertentu.Â
Ayah saya sudah almarhum. Ada satu cerita ayah saya yang selalu saya ingat hingga sekarang. Ia dulu salah-satu pengurus Persatuan Bulutangkis Seluruh Indonesia (PBSI) cabang Jakarta Timur. Tapi, untuk tingkat nasional ia cukup dikenal juga sebagai salah-satu penemu bibit pemain badminton nasional jadul seperti dua bersaudara Sarwendah Kusumawardhani (Juara Dunia Tunggal Wanita 1990) dan Ratih Kumala Dewi (satu angkatan lebih tua dari Susi Susanti).
Suatu hari saat ayah saya pulang dari dari perhelatan badminton nasional di Makassar ia menunjukkan selembar foto (dulu belum ada ponsel pintar). "Ini foto ayah sedang makan satu meja dengan Gubernur Sulawesi Selatan," katanya. "Dan, ayah hanya lulusan SD bisa duduk makan satu meja dengan orang-orang penting. Kamu kelak bisa lebih dari ayah, ya!"
Saat mendengar itu saya masih belum paham karena masih SMP. Tapi, ketika saya menjadi wartawan dan bisa duduk dalam kelompok kecil bersama wartawan media lain mewawancarai dan bincang-bincang dengan Presiden Filipina ke-11 Corazon Corry Aquino serta bisa duduk dengan beberapa pejabat tinggi lain baik dari dalam atau luar negeri, saya baru paham kata-kata ayah saya dulu.
Itulah yang saya selalu tanamkan kepada Fathan, anak saya. Bukan ijazah atau gelar sarjana yang bisa menentukan kesuksesan seseorang. Sudah bukan rahasia lagi saat ini banyak lulusan sarjana baik strata satu atau dua sekali pun yang menemui kendala dalam mencari pekerjaan.
Sukses terbentuk dari perbuatan baik tanpa kenal lelah.
Anda pasti pernah mendengar ada yang berkata, "Saya akan berbuat baik, bila Anda berbuat baik pada saya. Tapi, kalau Anda berbuat jahat, saya pun akan begitu pada Anda." Saya sangat menentang pemikiran ini. Prinsip saya, berbuat baik tidak perlu menunggu sikap orang terhadap saya. Saya berbuat baik, karena saya ingin berbuat baik terhadap orang lain, bukan karena orang baik terhadap saya.
Dengan kata lain, sukses bisa tumbuh dari perbuatan baik kita terhadap orang lain. Karena saya yakin, tidak ada orang sukses sejati yang bukan orang baik. Kalau ada orang sukses yang ternyata dia tidak baik, itu artinya dia orang yang 'kelihatan' sukses atau istilah yang populer saat ini, flexing. Itu sudah terbukti dalam beberapa kasus di negeri ini ... tidak perlu lah ya sebut kasus yang mana ...You know what I mean ... hehe.
Sikap baik ini pun tidak perlu ada kata lelah/kapok. Ada kata-kata yang saat ini cukup populer di sosmed. "Teruslah berbuat baik, meskipun keliatannya sia-sia." Atau "Ubah kata lelah menjadi lillah (demi Allah)."
Tiga hal inilah yang saya pikir perlu ditanamkan dan digaungkan terus pada anak-anak. Dan yang tak kalah penting adalah sikap orangtua sendiri; harus juga memiliki pandangan yang sama tentang kata "sukses" sehingga bisa menjadi teladan bagi anak-anak. Sebab, tak jarang orangtua masih ada yang berprinsip bahwa titel sarjana dan uang adalah segalanya.
Ini hanya pemikiran saya yang mungkin tidak sama dengan Anda para pembaca. Bila ada yang punya pemikiran lain atau pengalaman lain akan lebih baik lagi bisa dituangkan di kolom komentar untuk menambah wawasan artikel ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H