Tiba-tiba nama Jane ‘Nightbirdie’ Marczewski melambung lagi beberapa hari lalu. Bagi penggemar TV Show American Got Talents (AGT) pasti tahu sosok Nightbirdie ini. Ia lah seorang penyintas kanker yang ikut dalam audisi AGT 2021 dan mendapatkan predikat Golden Buzz (status bagi peserta AGT langsung ke tahap pertunjukan live) dari juri paling killer, Simon Cowell.
Kenapa bisa jadi perbincangan lagi nama Jane? Ini karena ucapan Jane saat audisi AGT 2021 telah menginspirasi sangat mendalam bagi seorang koreografer berkebangsaan Lebanon pada audisi AGT sekitar seminggu lalu. Nadim Cherfan, namanya. Kelompok tarinya, Mayyas, telah ‘menghipnotis’ para juri dan seluruh penonton AGT dengan tarian yang begitu indah dan memesona pada Minggu malam, 21 Juni 2022.
“Anda tidak bisa menunggu sampai keadaan tidak sulit lagi sebelum Anda memutuskan untuk bahagia!”
Apa yang menginspirasi Nadim? Ucapan Jane di depan juri saat sesi tanya jawab setelah ia menyanyikan lagunya sendiri berjudul "It's OK" dengan suara yang sungguh indah. Bahkan, ucapan Jane itu pula yang menggerakkan seorang juri yang terkenal killer seperti Simon Cowell menekan tombol Golden Buzz (dengan ini seorang peserta AGT mendapatkan Golden Ticket untuk bisa ke tahap Live Performance tanpa melalui tahap-tahap penyisihan lagi).
“Anda tidak bisa menunggu sampai keadaan tidak sulit lagi sebelum Anda memutuskan untuk bahagia!” Inilah ucapan Jane saat itu.
Berkat ucapan ini, Nadim yang memang penggemar AGT sejak remaja, memutuskan untuk mulai menggali mimpinya kembali tampil di AGT yang sempat ia kubur sejak pandemi Covid 2020 melanda dunia. Akhir pada Minggu malam itu mimpi ia dan anggota Mayyas terujud dan berhasil mendapatkan Golden Ticket seperti yang diperoleh Jane pada 2021.
Ucapan Jane telah mengubah seseorang mendapatkan mimpinya. Betapa luar biasa bukan? Saya yakin yang terinspirasi oleh ucapan si Nightbirdie bukan hanya Nadim. Yang bukan peserta AGT dan siapa pun yang menyaksikan video Jane pasti tersentuh dan termotivasi.
Memutuskan untuk merasa bahagia sebelum kondisi kita tidak buruk lagi atau dalam kondisi apa pun. Itulah intinya. Ini sejalan dengan pepatah Socrates pada tulisan pertama saya. Kebahagiaan yang hakiki adalah saat kita tidak berharap apa-apa selain rasa bahagia itu sendiri, itu inti pepatah Socrates.
Bagaimana dengan kita? Apakah kita masih menunggu keadaan jadi lebih baik untuk mengatakan pada orang lain, “Saya bahagia”? Atau kita memaksakan diri untuk membeli apa yang kita inginkan dengan cara apa pun sehingga kita bisa berkata, “Saya bahagia?”
Jane Marczewski mengidap kanker sejak 2017. Dua kali sempat dinyatakan sembuh tapi pada akhirnya ia meninggal pada Februari 2022. Saat audisi AGT 2021 ia sedang mengidap kanker kedua kali pada tiga lokasi di tubuhnya. Di saat itulah ia mengungkapkan kalimat sakti tersebut. Sungguh bukan kondisi dan waktu yang jauh dari ideal untuk bisa mengatakan, “Saya bahagia”.
Ada juga Nic Vujicic. Lelaki kelahiran 1982 berdarah Serbia ini lahir tanpa tangan dan kaki (akibat penyakit langka di dunia, tetra-amelia syndrome). Pada usia 17 tahun ia tergugah pada sebuah artikel di koran yang ditunjukkan ibunya. Artikel itu menceritakan bagaimana seorang perempuan berdoa dengan tubuh yang cacat. Ia pun mulai berdoa seperti yang ditunjukkan artikel bersama kawan-kawannya.
Sejak itu keajaiban-keajaiban mulai terjadi pada dirinya. Hingga akhirnya kini dikenal sebagai motivator, pendiri dua yayasan kemanusiaan dan penulis buku motivasi. Buku pertamanya berjudul Life without Limits; Inspirational for Ridiculously Good Life diterbitkan pada 2010.
Di negeri kita sendiri ada sosok bernama Handry Satriago. Lelaki kelahiran 1969 ini pada usia 17 tahun ‘divonis’ mengidap penyakit kanker getah bening yang membuatnya harus memakai kursi roda hingga sekarang. Saat mengetahui penyakitnya itu, Handry terpuruk dalam kesedihan dan jatuh mental. Tapi, tiga bulan setelah itu ia memutuskan untuk bangkit.
Berkat tekadnya itu, ia mampu menembus ujian masuk IPB dan menjadi sarjana yang kemudian disusul jenjang pendidikan lebih tinggi lagi. Bahkan gelar dua cum laude ia sabet dengan gagah. Karirnya diawali dari bawah hingga akhirnya ia berhasil menjadi orang Indonesia pertama yang sangat lokal (semua jenjang pendidikan ditempuh di dalam negeri) yang duduk di kursi pimpinan perusahaan asing sekelas General Electric hingga sekarang. Dan semua itu diraih oleh Handry dari atas kursi roda! Kisah perjuangannya bisa lihat di video ini.
Kembali ke pertanyaan di judul; kapan waktu yang tepat untuk merasa bahagia? Ini masalah mindset memang. Saya berharap kedua artikel ini mudah-mudahan bisa membuat Anda menjawab sendiri waktu yang tepat untuk merasa bahagia sejati (bukan yang jebakan Batman). Salam bahagia!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H