"Jeeeng ... alhamdulilaah anakku sudah keterima di sekolah negeri!"
"Wah syukurlah ... Murah dong ya biaya sekolahnya?"
Anda mungkin sering mendengar percakapan seperti ini. Atau mungkin Anda sendiri yang terlibat dalam percakapan seperti itu? He he ... Â Percakapan itu memang sudah lumrah di negeri ini. Sekolah atau kampus negeri sudah identik dengan kata 'murah'. Â
Sejujurnya, saya merasa miris dengan identitas itu. Secara umum, seperti kita tahu kata 'murah' identik dengan kualitas rendah. Dalam hal pendidikan, apakah sekolah negeri berarti berkualitas rendah? Saya kira tidak sedikit sekolah negeri yang berkualitas bagus. Sebaliknya, apakah kualitas sekolah swasta sudah jaminan bagus? Tidak sedikit juga sekolah swasta yang berkualitas tidak baik, ya 'kan?Â
Di sisi lain, kata 'berkualitas' bisa saja tidak selalu identik dengan mahal. Tapi, pada umumnya kata 'berkualitas' sudah terlanjur identik dengan kata 'mahal'.Â
Rasa miris juga saya alami ketika mendengar seorang kawan memberikan jawaban, "Karena biaya kuliahnya murah, bro!" atas pertanyaan saya kenapa dia mendaftarkan anaknya ke kampus negeri. Â Hmm ... apakah Anda juga seperti itu? Kalau iya, saya tidak menyalahkan Anda. Kadang memang kita harus memilih ... dan pilihan yang ada tidak jarang dilematis.
Sebagai orangtua kita pasti selalu ingin memberikan yang terbaik kepada anak-anak kita. Namun, sebagai orangtua di era seperti sekarang kita sepatutnya bijak dan cermat dalam memilih serta memberikan saran kepada anak-anak tentang sekolah/kampus mereka. Di era digital yang banjir informasi ini kita bisa mengajak - bukan mendikte - anak-anak dalam memilih sekolah mereka berdasarkan data-data yang valid.Â
'Melek digital' ... itu kata kuncinya, menurut hemat saya. Konsep 'katanya' seharusnya tidak lagi dipakai oleh kita sebagai orangtua. Apa pun yang kita cari, informasinya sudah berlimpah di dunia maya. Kita harus pintar-pintar  dalam mencari kata kunci saat berselancar di dunia maya.Â
Konsep 'katanya' seharusnya tidak lagi dipakai oleh kita sebagai orangtua.
Sebagai praktisi di bidang komunikasi (Public Relations) beberapa kali saya membimbing mahasiswa-wi yang sedang belajar di berbagai universitas negeri (khususnya ilmu komunikasi). Saat itulah tidak jarang mereka memberikan kesaksian bahwa apa yang saya sharing-kan tidak mereka dapatkan di kelas.Â