Buya Syafii Maarif wafat. Speechless ... Terbayang peristiwa nasional jelang dan di 2024 nanti akan seperti apa tanpa 'suara' Buya?
Itulah yang terpikir pertama kali di kepala saya saat mendengar berita duka pada 27 Mei 2022, "Buya Syafii wafat pukul 10.15 WIB di RS PKU Muhammadiyah, Gamping, Kabupaten Sleman dalam usia 86 tahun". Artikel ini pun akhirnya bisa saya tulis setelah sekian hari termenung tanpa ide harus menulis apa untuk ekspresikan kegundahan hati ini.
Baru ketika Senin pagi, 30 Mei, saya sedikit bersitegang dengan seorang pengemudi mobil berpakaian loreng di jalan raya muncul ide untuk menulis tentang hal yang bisa saya kaitkan dengan kepergian Buya.
Kenapa? Karena, pengemudi yang terlihat masih muda belia dengan seragam lorengnya itu awalnya ingin marah pada saya yang kemudian beralih membentak dua anak remaja tanggung 'pak ogah/polisi cepek' (pengatur lalu lintas tak resmi di jalan-jalan raya di Jakarta). Â Awalnya ia kesal karena saya menggebrak kaca mobil belakangnya. Padahal saya gebrak itu bukan tanpa sebab (tentu saja!). Mobilnya mundur tiba-tiba dan merangsek ban depan motor saya yang ada tepat di belakang. Saya sudah membunyikan klakson dan berteriak tapi sepertinya tidak terdengar (karena saya pakai helm full-face) juga teriakan dari pengendara motor lain tak bisa menghentikan gerak mundur mobilnya. Secara spontan saya gebrak kaca mobilnya (karena model mobil MPV, jadi kaca belakang bisa saya raih) agar ia hentikan gerak mundur.
Saat keluar dari mobil ia sempat marah pada saya sambil melotot dan berkata, "Kenapa pukul mobil saya?" Saya jawab sambil menunjuk, "Mobil Anda mundur dan ini cover ban depan motor saya retak, lihat!" Sepertinya ia sadar kesalahan ada pada dirinya. Namun, bukan segera minta maaf ia malahan serta-merta melemparkan kesalahan itu pada dua remaja polisi cepek itu sambil membentak, "Ini gara-gara kalian!" Akhirnya saya yang malahan berusaha menenangkan dia, "Sudah ... sudah ... " Tapi bentakan demi bentakan tetap ia lontarkan. Istrinya pun di dalam mobil sudah berusaha berteriak-teriak, "Ayaah ... ayaahh sudahh .. sudaahh ..." Karena saya ada jadwal meeting kantor, saya pun ngeloyor pergi (saya pikir percuma kalau orang sudah kerasukan emosi, apalagi dengan berseragam).
Apakah dengan identitas seragam militer, mobil mewah, atau bahkan agama ... atau bahkan plat nomor khusus pejabat, seseorang berhak merasa lebih tinggi 'kasta'-nya
Tapi, selama perjalan ke kantor terpikir betapa arogan bila seseorang dengan identitas yang melekat di tubuhnya dan terlihat jelas seperti yang ada pada anak muda dengan seragam militer itu. Terbayang juga kejadian-kejadian lain di negeri ini oleh mereka yang juga berseragam terhadap rakyat biasa. Pun, pada musim mudik lalu ada seorang bapak di dalam mobil mewahnya memaki dengan kata-kata tak pantas kepada polisi lalu-lintas yang sedang mengatur arus mudik balik di sebuah jalan di Jawa Barat.
Apakah dengan identitas seragam, mobil mewah, atau bahkan agama ... atau juga plat nomor khusus pejabat, seseorang berhak merasa lebih tinggi 'kasta'-nya dan berhak melecehkan rakyat biasa bahkan terhadap seorang petugas polisi sekalipun? Apakah mereka akan bertindak sama bila mereka tidak memiliki identitas itu semua?
Sikap Rendah Hati Buya
Bagaimana hubungan dengan Buya Syafii? Saya kaitkan peristiwa di atas dengan sikap bersahaja dan rendah hati almarhum Buya Syafii Maarif. Saya terkenang pada kejadian yang pernah viral ketika seseorang mengunggah (upload) foto Buya yang sedang duduk di kursi lipat biasa (bukan di ruang VIP) dengan sabar di sebuah RS menanti antrian panggilan. Padahal rumah sakit itu adalah bagian dari organisasi yang pernah ia pimpin selama bertahun-tahun.