"Aku nggak bisa maafin dia, Yah! Aku begitu kalau udah kesel, susah maafin orang."
Begitulah curhatan anak saya semalam usai kami shalat Isya berjamaah (sebelum Taraweh di rumah).
Kalimat itu meluncur setelah saya memulai percakapan tentang tradisi maaf-memaafkan sebelum masuk Ramadan. Saya bertanya, "Kamu paham maksud tradisi minta-minta maaf sebelum masuk Ramadan?" Secara jujur ia katakan tidak paham. Lalu saya bantu menerangkan apa makna tradisi itu.
Singkat kata saya bilang bahwa hal itu bertujuan kita bersih-bersih hati agar saat berpuasa kita lebih afdol. Lalu meluncurlah curhatan dia tentang seorang kawan yang telah mengecewakannya beberapa waktu lalu dan ia belum bisa memaafkan. Saya berusaha memaklumi kekecewaan itu karena saat kejadian itu pun ia sempat bercerita pada saya.
Saya kaget, sejujurnya. Karena saya pikir hal itu sudah beres dalam arti sudah saling memaafkan. Apalagi kawannya itu sudah sempat minta maaf beberapa kali via WA. Anak saya bergeming, tak mau memaafkan. Lalu muncul kalimat seperti di awal artikel ini.
Saya hanya bilang, "It's your call, terserah kamu. Mau maafkan dia atau tidak. Tapi, itulah makna berpuasa. Kita harus bersih hati. Berpuasa bukan sekadar menahan lapar dan haus. Itu yang Ayah selalu dengar dari para ustadz dan ulama selama ini. Sekali lagi, it's your call."
Dia terdiam. "Susah, Yah," katanya.
"Ayah paham kamu kecewa dan susah memaafkan. Ayah pernah di posisi kamu. Banyak kawan Ayah yang sudah mengecewakan, tapi Ayah sadar kalau Ayah tidak memaafkan tidak ada untungnya buat Ayah."
Dia masih terdiam.
"Menurut kamu, apa untungnya kamu tidak memaafkan dia?" tanya saya.