Mohon tunggu...
Arif Swa
Arif Swa Mohon Tunggu... Insinyur - Product Management

Product and Innovation Management @ Indonesian Telecom Operator, senang belajar tentang kehidupan, marketing dan inovasi di https://kopicoklat.com

Selanjutnya

Tutup

Money

Mendulang Profit Sekaligus Mengentaskan Kemiskinan

31 Oktober 2011   05:36 Diperbarui: 26 Juni 2015   00:15 151
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Studi kasus pemasaran kali ini ditulis untuk turut memeriahkan Hari Blogger Nasional tahun ini, tanggal 27 Oktober 2011. Bermula dari pemikiran, apa yang bisa saya tulis untuk bisa sedikit berkontribusi melalui blog yang fokus pada tema studi kasus pemasaran dan inovasi di http://kopicoklat.com.

Sangat membanggakan saat membaca ulasan bangkitnya kelas menengah di Indonesia, menurut ekonom Faisal Basri. GDP (Gross Domestic Product) Indonesia sebesar $ 3.000 per capita pun diprediksi akan terlampaui pada tahun 2011. Jumlah populasi kelas menengah terus membengkak seiring pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Kondisi ini membawa pengaruh semakin larisnya berbagai produk yang selama ini masuk dalam kategori barang kebutuhan sekunder. Bahkan barang-barang mewah juga semakin terjangkau, karena volume penjualan yang semakin tinggi.

Lebih menggugah hati lagi saat membaca Entrepreneur Boom-nya mas Yuswohady, yang merupakan kelanjutan dari fenomena Consumer 3000 yang juga dikenalkan oleh mas Yuswohady. Consumer 3000 adalah istilah untuk menggambarkan kelas menengah yang mempunyai pendapatan di atas GDP per capita $ 3000. Dengan adanya lonjakan kelas menengah, diharapkan enterpreneurship di Indonesia semakin berkembang. Lebih banyak lagi kelas menengah yang memutuskan untuk mengembangkan diri menjadi entrepreneur. Hal ini didukung oleh karakter kelas menengah yang pada umumnya memiliki aset modal yang memadai, berwawasan luas, knowldgeable dan melek teknologi.

Tetapi kenyataannya di balik pertumbuhan kelas menengah, masih ada 31 juta penduduk Indonesia yang hidup di bawah garis kemiskinan menurut data Bank Dunia. Bahkan sekitar 4 milyar penduduk dunia hidup dengan pendapatan di bawah $2 per hari. Yang cukup menyedihkan, gap atau jurang antara kaya dan miskin di Indonesia ternyata semakin lebar.

Jadi di balik menggairahnya pasar domestik dengan adanya lonjakan kelas menengah, apakah tidak ada peluang di segmen pasar yang berada di bawah garis kemiskinan? Menurut C. K. Prahalad dalam bukunya “The Fortune at the Bottom of the Pyramid”, terdapat peluang besar bagi banyak pelaku usaha bila menggarap pasar ini dengan benar. Selain menguntungkan, menggarap pasar di segmen ini juga akan memberi nilai tambah yang luar biasa bagi pengentasan kemiskinan. Kuncinya adalah kemitraan yang sinergi antara pelaku usaha,  pemerintah, berbagai organisasi kemasyarakatan dan masyarakat di segmen ini. Tetapi memang, untuk bisa menghasilkan keuntungan di pasar ini menuntut sebuah perusahaan yang menggarapnya untuk berinovasi, mulai dari model bisnis, teknologi, pengembangan produk dan yang paling penting adalah mengubah mindset.

Mindset yang penting dalam pengentasan kemiskinan adalah sudut pandang bahwa masyarakat miskin bukanlah beban tetapi lebih sebagai sumber daya. Sumber daya manusia yang menurut C.K. Prahalad juga berpotensi sebagai entrepreneur yang tangguh dan kreatif. Benarkah sudut pandang ini? Coba kita tengok bagaimana Grameen Bank yang digagas oleh pemenang Nobel Perdamaian 2006, M. Yunus. Grameen Bank berhasil mengentaskan kemiskinan pada banyak keluarga di Bangladesh dengan mengembangkan model bisnis inovatif dalam produk kredit mikro. Kredit mikro tersebut didesain dalam bentuk yang tepat untuk target marketnya, yaitu masyarakat yang hidup di bawah garis kemiskinan. Kredit diberikan tanpa perlu adanya jaminan seperti layaknya produk kredit mikro perbankan pada umumnya.  Pinjaman diberikan secara selektif kepada kelompok perempuan produktif yang ber status sosial miskin. Kredit mikro ini berhasil mengembangkan entrepreneurship di kalangan kelompok perempuan berstatus sosial miskin, dan akhirnya berkontribusi besar dalam mengentaskan keluarga mereka dari kemiskinan. Masih banyak lagi contoh yang disampaikan Prahalad dalam buku “The Fortune at the Bottom of the Pyramid”.

Jadi di balik pertumbuhan Consumer 3000 dengan daya beli yang naik dan harapan lonjakan para entrepreneur dari kalangan kelas menengah, terdapat peluang besar naiknya daya beli dan bangkitnya entrepreneurship dari masyarakat yang saat ini masih berada di bawah garis kemiskinan. Pemerintah harus mampu menjadi fasilitator dan katalisator dalam proses kemitraan yang sinergis dengan sektor swasta dan berbagai lembaga kemasyarakatan untuk mengubah mindset seperti di atas. Perubahan mindset tersebut diharapkan mampu membangkitkan inovasi di berbagai perusahaan untuk menggarap segmen ini dan sekaligus berkontribusi dalam pengentasan kemiskinan di Indonesia. Bagaimana dengan UKM (Usaha Kecil Menengah)? Peluang inovasi di UKM selalu terbuka, juga dalam kaitannya dalam menggarap segmen pasar ini (baca: “Jalan Terbuka Lebar untuk Inovasi oleh UKM”). Apalagi UKM mestinya lebih dekat dengan segmen pasar ini dibandingkan perusahaan berskala besar.

Bagaimana menurut Anda? Ada pemikiran tentang pengentasan kemiskinan di Indonesia dan peran serta sektor swasta dan juga pemerintah? Please share with us di blog studi kasus pemasaran Indonesia dan internasional http://kopicoklat.com.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun