Mohon tunggu...
Arif Swa
Arif Swa Mohon Tunggu... Insinyur - Product Management

Product and Innovation Management @ Indonesian Telecom Operator, senang belajar tentang kehidupan, marketing dan inovasi di https://kopicoklat.com

Selanjutnya

Tutup

Money

Google Wave's Death Lessons Learned

16 Agustus 2010   02:19 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:00 129
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa pelajaran dari tewasnya Google Wave. Saya termasuk salah satu orang yang cukup antusias saat Google mengumumkan akan melakukan trial Google Wave pada tahun 2009 ( Google to Launch Google Wave Public Beta in Sept.). Dan masih banyak lagi netizen yang antusias dan kemudian mengirim pesan ke google untuk menjadi salah satu user, di antara 100.000 user yang direncanakan terlibat untuk mencoba Google Wave versi Beta. Beberapa orang yang terpilih Google untuk ikut mencoba, merasa bangga dan menyampaikannya pada teman dan komunitasnya. Pada waktu itu buzz atau words of mouth mengenai Google Wave menjadi sangat kencang.

Singkatnya, Google Wave adalah perpaduan antara e-mail, chat, blog dan banyak aplikasi google lain untuk berkolaborasi secara online. Aplikasi ini diproyeksikan untuk mampu menggantikan e-mail yang sudah dianggap aplikasi “kuno”.

Tetapi, pada tanggal 4 Agustus 2010Google mengumumkan untuk menghentikan pengembangan Google Wave. (RIP Google Wave). Salah seorang Senior Vice President Google mengatakan, alasan dihentikannya pengembangan Google Wave adalah user adoption yang tidak memenuhi harapan Google. Pada proses awalnya, sebelum mengarah ke 100.000 user trial, Google terlebih dahulu melakukan trial ke para sekitar 6.000 program developers. Kalau kita merujuk pada Technology Adoption Lifecycle-nya Geoffrey Moore, maka Google sudah mencoba masuk ke segmen Innovator dan Early Adopter. Tetapi persis seperti disampaikan Geoffrey Moore, maka titik kritisnya adalah di Chasm, atau jurang antara Early Adopter dan Mainstream Customers. Dan Google Wave akhirnya menjadi salah satu korban, masuk ke jurang tersebut.

Tetapi dari studi kasus marketing ini kita bisa banyak belajar marketing dari berbagai aspek. Pertama, produk yang terlalu complicate, rumit atau ribet akan susah diserap oleh pasar. John Naisbitt pernah mengungkapkan perlunya High Touch pada produk High Tech. Sehingga untuk realisasi konsep besarnya, Google perlu kembali berpikir keras bagaimana mendeliver preposisi tersebut dalam bentuk yang mudah digunakan oleh target pasarnya.

Kedua, buzz yang luar biasa – atau meminjam istilah New Wave Marketing-nya Hermawan Kartajaya – Conversation yang luar biasa di seputar Google Wave, ternyata tidak menjamin penyerapan pasar yang baik. Sebuah pelajaran yang penting untuk para pemasar dalam era antusiasme terhadap digital marketing dan social media.

Ketiga, kabar baiknya, konsep Google Wave saya kira masih perlu dicermati. Buzz atau Conversation yang luar biasa saat peluncuran versi Beta-nya bukan tanpa alasan. Jadi, masih terbuka kemungkinan konsep ini dikembangkan melalui produk atau aplikasi yang sesuai dengan kebutuhan pasar.

Keempat, dibalik cerita kegagalan Google Wave, yang sebetulnya hanya satu cerita dari kegagalan aplikasi Google yang lain mengingatkan kita kepada cerita keberhasilan inovasi Thomas Alva Edison. Di balik sebuah inovasi yang sukses terdapat puluhan, ratusan atau bahkan ribuan kegagalan. Jadi, keberanian mengambil resiko menjadi sangat penting. Saya kira respon Google yang cepat dalam proses pengembangan produk dan mekanismenya dalam mengembangkan inovasi bisa menjadi referensi.

Kelima, lagi-lagi merujuk pada Technology Lifecyle Adoption-nya Geoffrey Moore, untuk bisa masuk ke mainstream customers ternyata memang diperlukan produk yang siap 100%. Produk baru high tech yang belum siap sangat beresiko masuk ke chasm, jurang yang menganga di antara early adopter dan early majority.

Bagaimana menurut Anda? Ada pelajaran marketing lain yang bisa diambil? Please share with us @http://kopicoklat.com untuk belajar marketing bersama dan sharing marketing ideas melalui studi kasus marketing Indonesia dan internasional.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun