Mohon tunggu...
Arifta Yahya
Arifta Yahya Mohon Tunggu... -

Mahasisawa Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Borok Pendidikan Indonesia

28 Februari 2012   08:08 Diperbarui: 25 Juni 2015   08:48 174
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Pendidikan formal sudah menjadi kebutuhan wajib manusia untuk menunjang  kesejahteraan hidup di masa mendatang. Para orang tua telah sadar dengan keadaan ini sehingga mereka mensekolahkan putra-putri mereka. Ditambah lagi dengan program pemerintah mencanangkan wajib belajar 9 tahun, yaitu mulai dari Paud-TK-SD-SMP-SMA. Sudah bukan rahasia lagi jika sebagian besar masyarakat lebih prefer untuk memasukkan buah hatinya ke sekolah negeri, karena biayanya yang relatif murah jika dibandingkan dengan sekolah swasta.
Pemerintah men-subsidi pendidikan indonesia sebesar mencapai 208,9 triliun rupiah atau 20% dari APBN. Angka yang cukup besar memang. Namun, dua ratus trilliun rupiah seakan percuma jika melihat anak didik sekolah yang memiliki etika yang tidak baik.
Inilah borok pendidikan indonesia, anak didik seharusnya di-didik dan diajar dengan baik,  dengan harapan mereka memiliki kecerdasan, pengetahuan, dan karakter yang baik pula. Yang terjadi malah tidak demikian, anak hanya diajar (tidak di-didik!).Yaitu hanya materi pengetahuan yang dominan dalam kelas, anak hanya digenjot pikirannya untuk menyelesaikan soal, yang ali-alih tujuannya hanya untuk lulus Ujian Nasional.
Sementara karakter anak tidak terbentuk,buktinya adalah contek massal, pornografi, kriminalitas, narkoba dll. Pendidikan karakter mutlak dibutuhkan dalam dunia sekolah. Agar etika pemuda tidak amburadul seperti sekarang. Tengok saja tawuran massal yang terjadi, tak lain adalah anak sekolah yang menjadi dalangnya.
Sekali lagi saya tegaskan, Pendidikan Karakter mutlak harus diterapkan dalam kurikulum sekolah. Saat ini, kejujuran tidak dihargai dalam penilaian. Penilaian hanya dari salah atau betulnya jawaban dari siswa. Namun, guru seakan tidak tahu bahwa siswa tersebut menyontek jawaban temannya. Inilah yang terjadi di Ujian Nasional!. Yang merupakan kriteria untuk  menentukan siswa Lulus atau tidak.
Perlu diingat bahwa ktiteria kelulusan siswa ditentukan dari Nilai Ujian Sekolah dan Ujian Nasional dengan proporsi Nilai Ujian Nasional 60% dan Nilai Ujian Sekolah 40%. Dengan nilai rata-rata minimal 5,5. Hal ini sangat jelas bahwa Ujian Nasional lebih dominan dalam kelulusan siswa. Menilik banyak kasus kecurangan yang terjadi dalam Ujian Nasional, seakan-akan siswa tidak lulus dengan pure atau murni lulus dengan kemampuan sendiri.|

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun