Semua orang menonton, membicarakan, mencari, dan mencaci. Aku hanya mampu menerima. Menyaksikan dari persembunyian yang diragukan keamanannya. Aku lelah. Aku merasa, aku adalah orang paling sial se-dunia yang pernah dikeluarkan dari rahim ibu. Selalu berdampingan dengan kegelisahan, dan selalu setia bergandeng tangan dengan kemunafikan.
Aku sudah tak tahan hidup menjadi artis dadakan yang selalu buru media akan keberadaannya. hampir seluruh stasuin tivi nasional menayangkan kepala botakku. Mulai dari investigasi, berita pilihan, info hari ini, berita seleb, dialog interaktif, sampai spekulasi-spekulasi murahan yang diperdebatkan. Bahkan, saking seringnya, kepopuleran kepalaku mengalahkan terkenalnya kepala Negara yang sudah dipilih untuk kedua kali. Lima ratus juta rupiah dikucurkan cuma-cuma untuk siapa saja yang berhasil menemukan kepalaku, hidup ataupun mati.
Door! Door!
“Sebaiknya semua yang ada didalam menyerah! tempat ini sudah kami kepung!”
“Muhi. Ada apa?”, aku memanggil sahabatku yang sempoyongan kedalam.
“ada polisi!”. Ucapnya lirih, sembari menghalangi mulutnya dengan telunjuknya.
Kuraih senjata api di dekatku. Benda inilah yang membawaku masuk ke lubang busuk beratasnamakan membela agama. Yang kuingat, sudah lima masyarat sipil, dan dua aparat menjadi tumbal benda ini. Dan akulah algojonya.
“Ali. antum disamping kamar, biar abi yang ada di dapur!”, Abi Said mengintruksikan. Aku hanya manggut.
“Razin, jaga depan. Jangan sampai mereka masuk lewat ruang tamu. Akram, rakit yang lebih besar, sepertinya mereka dalam jumlah yang banyak. Dan engkau, ikut abi!” Abi Said masih mengatur strategi cemerlangnya.
Abi mengajak kami untuk tenang. Berkonsentrasi di posisinya masing-masing. Yaa, dia memang ahli dalam ilmu perang. Meskipun di atas kertas dia hanya lulusan SMK Akutansi, Ilmunya dan pengalamannya tak bisa dianggap remeh. Belajar metode pengrekrutan di Afganistan, ilmu sains kimia spesialis bom di malaysia, dan pernah menjadi gerilyawan Irak dua tahun. Dialah yang mencuci otakku. Dia yang mengatakan, jika yang kita lakukan saat ini adalah jihad, pembelaan agama paling tinggi. Aktivitas yang paling disukai Allah dan Rasul Muhammad. Dia juga yang mengajari Akram menjadi perakit bom yang handal, menjadikan Razin sebagai penembak jitu. Dan Muhi sebagai tangan kanannya dalam hal strategi.
“Allahu Akbar! Allahu Akbar! Allahu Akbar!”
Buuuuuuuuuuummmmmmmmmm!
“Letakkan senjata kalian!”, bentakku. polisi kocar-kacir
“Ali, jangan gegabah!”
“Muhi, lindungi Abi!”
Crees! Crees! Sniper mencoba menembakku, tak tepat.
Door! Door! Door!
“Akram, ledakkan tempat ini!”
“apa Bi? Bisa mati kita semua!”
“biarkan, inilah jihad!”
“tapi abi…”
BUUUUUUMMMMMMMMMMMM!
“ledakkan yang ada di koperku, Ram. Lebih baik kita mati, daripada menyerah pada Negara kafir ini!”
Akram membuka koper yang Abi maksud. Dengan cepat aku melompat keluar memecah kaca.
DHHHHEEEEEEEEEEEEERRRRRRRRRRRRRRRRRRRRR!!!!!!!!!!!
Pecahan kaca cendela kamar membawaku ke kubangan. Dan akhirnya, gelap!
********
“kamu dah siuman.”. Mataku terbuka. Kepalaku masih pusing. Masih hitam.
“aku dimana?”, teriakku. Kulihat tak jelas, ada lelaki tua keriput berbaju putih di sampingku. Aku sudah mati. Apa mungkin dia mungkar atau nakir penunggu kubur. Entahlah. Nyawaku belum sempurna mengumpul.
“kamu dah bangun, Li?”
“siapa kamu?”, aku menjauh, curiga.
“saya Nasik.”, jawabnya tersenyum tenang, sembari menyodorkan wedang teh dihadapanku.
“Nasik?”, kepalaku masih berpusing. Tak kuat untuk berpikir lebih jauh.
“Kyai? Kyai Nasik?”, aku tercengah tak karuan. Beliaukan Kyai Nasik, orang yang memperkenalkanku pada agama ini.
“ Maafkan saya Kyai!”, aku langsung bersujud di hadapnya, beliau mengelak.
“jangan begitu! Bangkitlah!”, beliau menarikku ke atas. Aku tetap bersimpung di lututnya.
“Maafkan saya Kyai. Maafkan.”, kataku menyesal.
“saya salah kyai, saya khilaf!”, aku masih bersimpuh dilututnya.
“kembalilah, Li. Jangan kau turuti nafsumu?”
“maksud Kyai?”, kulihat wajahnya.
“apa setelah tanganmu hilang…..”
Kulihat tanganku. Masya Allah. Hilang bagian kanan!
“…..hartamu habis. Istrimu-anakmu kau tinggalkan, kamu akan mendapat ganti yang lebih baik dari Allah? Tidak. Sama sekali Tidak!”
Kutundukan mataku. Tubuhku merinding.
“saya berjihad, Kyai. Dengan harta dan nyawa saya!”, aku memprotesnya. Tubuhku berubah dingin.
“jihad? Apanya yang Jihad! mananya yang kamu katakan Jihad?”, ujar beliau tenang.
“saya membela agama ini, Kyai. Saya menolong agama Allah!”. Aku masih belum berani berdiri dihadapannya. Kyai yang mengajariku A-BA-TA-TSAitu malah tertawa lebar. Entah apa maksudnya
“apa yang kamu tolong?”
“berdirilah, Sang Mujahid tersesat!”, kyai masih terseyum. Aku masih belum mengerti.
“kyai kok malah ketawa. Apa maksud kyai?”, aku bangkit, tapi tetap merendah.
“Ali. syurga itu dipenuhi kasih sayang, belas kasih, dan rasa cinta yang berlebih. Sekarang, lihatlah dirimu. Semua orang membencimu. mencacimu. Menghinamu. Bahkan, saudara muslimmu sendiri melaknatmu. Lalu siapa yang mau mengajakmu ke syurga, bila doa-doa muslimin-muslimat berisi laknatan yang tertuju ke kamu?”
“emang yang bakal masuk syurga cuma kelompokmu aja. Abi Said, Akram, Muhammad Hildan, Abyan, Zakir, Raji’, dan semua yang segolongan dengan kamu. sedangkan yang gak ikut kelompokmu bakal masuk neraka. Rasulullah kan gak ikut kelompokmu?”
******
Cahaya mentari menghampiri mukaku. Semburatnya yang kuning memaksaku menurup mata dan menyadarkan. Kupandangi sekelilingi, adalah dedaunan hijau dan pohon lebat yang sebentar lagi tumbang. Aroma darah segar segera menusuk hidungku. Aku terluka. Dengan susah payah aku mengingat apa yang sebenarnya terjadi padaku. Mengapa tiba-tiba Kyai Nasik hidup kembali. Padahal beliau sudah meninggal sejak kuberumur tiga belas tahun, kelas dua SMP. Dan mengapa dengan cepet aku sudah berada di semak duri tajam seperti sekarang. Sebenarnya apa yang terjadi.
Secara perlahan, semua yang terjadi mulai kuingat. Yaa, aku terjun ke cendela tepat saat Akram meledakkan bom rakitan malam tadi. Tapi, dimana gubuk itu. Seharusnya gubuk itu hancur bersama mereka. Tak kutemukan. Apa mungkin aku terguling jauh. Dan diantara ketidaksadaranku kyai Nasik hadir. Untuk apa beliau hadir.
Langkah kaki manusia terbaca jelas di telingaku. Polisi. Dengan cepat mereka menangkapku. Tanpa perlawanan. Luka kaca dan duri tajam rumput memaksaku untuk lumpuh dan kalah. Mereka langsung memukul beberapa kali dan menggelandangku. Dengan cepat kerumunan orang berkamera mencari potretan wajahku, kuberlindung di balik ketiak salah satu aparat. Memang benar pepatah arab. Jika mau terkenal, kencingilah sumur zam-zam.
Diantara turun dari mobil dan masuk mabes semua yang ada mencaci. Bahkan aku menerima gemericikan liur ludah dari beberapa orang. Dan kudengar, mereka menyumpahiku buruk atas nama Tuhan.
“cuih! Demi Tuhan, islam memang teroris! Tukang perang, tukang bom, tukang rusuh………. Bunuh saja dia, Pak Polisi!!!!!!”
Mungkin diantara mereka adalah sanak-saudara korban ledakan bom syahid hotel Art Asian seminggu yang lalu. Hasil cipta, karya, dan karsa tangan Fakih. Murid kesayangan Abi Said Bin Shafih.
“Ustadz!”, seseorang memanggilku dari kamar penjara lain.
Kuberanjak mendekat jajaran besi yang terpasang parallel. Siapa gerangan.
”Amir. Kenapa kamu disini?”, aku terperanjak, murid ngajiku berada di balik jeruji itu. Dan dia masih memanggilku ustadz.
“kamu mencuri, Mir?”, tanyaku lagi.
“bukan, Tadz. Saya…”. Suaranya mengecil.
“kenapa kamu, Mir?”
“saya di sini, karena saya dituduh terlibat pengeboman kemarin, ustadz. Saya diduga sebagai pencari dana.”. tuturnya gugup tak jelas. Tapi aku bisa menangkap.
Yaa, dia memang muridku. Namun, itu dulu, sebelum aku ikut kelompok ini. Aku melangkah mundur, kubiarkan dia berdiri bersandar di jeruji besi dengan tangisnya. Kubuang badanku disudut ruangan pengap dan gelap ini. Amir. Maafkan, Ustadzmu yang bejat ini!
Namaku dipanggil. Pasti aku akan diintrogasi. Sama seperti Ghazy, Farras, dan Mahrus sebelum eksekusi hukuman tembak menyabut nyawanya. Dan pasti, cepat atau lambat, aku akan bernasib sama dengan mereka.
******
Permohonan grasiku ditolak. Eksekusi hukuman tembak akan segera dimulai. Aku diletakkan disebuah kursi dengan tangan dirantai dan mata tertutup. Kurasakan angin malam menusuk tajam rusukku, sudah sebulan tak kurasan. para penembak sudah siap dengan laras panjangnya. Inikah seorang mujahid. Setelah dibentak, diludahi, disumpahi. Dijuluki seorang yang kejam, sadis, keras, perusak, dan….. statusnya sama dengan perampok, bandar judi, pemerkosa, penjual narkoba lintas negara, dan para korutop. Dan kini harus mati sia-sia dihadapan senjata penembak tanpa perlawanan apa pun. Inikah pembelaan kepada agama.
Deer!
Timah panas itu sudah menembus tepat di jantungku. Rasanya lebih sakit dibanding saat Imah menyatakan cinta dan bersedia menikah denganku. Mungkinkah timah panas itu menjadi alasan kumasuk syurga. Sementara hinaan umat selalu mengalir deras di telingaku. Maafkan aku saudara seiman. Maafkan aku, muslimin-muslimat, aku telah mencoreng agama yang mulia ini. Membuat antum semua menjadi buruk di kaca mata dunia. Ampuni hamba, Yaa Rabb. Hamba menganiaya diri hamba sendiri.
Kurasakan nafasku semakin berat. Aku tersengal. Dan tak kurasakan lagi batas antara hidup dan tidur panjangku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H