Kalah perang itu Sakit Boss, dalem, tuturnya. Ambruk, nggliyeng, itulah curhat Bambang Pacul di Podcastnya Deddy Corbuzier 8 Mei 2024. Saya takzim, menyimak obrolan Komandan Korea, Bambang Pacul dengan Deddy Corbuzier. Saya membayangkan kegagalan di politik itu perih, pedih. Di politik kata Bambang Pacul harus siap sakit, perih dan merasakan kepedihan. Dunia yang penuh dua sisi mata uang. Ada kesenangan, kepuasan dan cita yang dikejar. Ada pula puncak saat keberhasilan dan juga cita politik itu tercapai. Bambang Wuryanto atau Bambang Pacul seperti sudah kenyang makan asam garam di dunia ini.
Ada yang berbeda saat melihat Bambang Wuryanto di Podcast Deddy Corbuzier yang diberi tajuk : "Pak Ganjar, Pak Ganjar, Mereka tidak curang, Kita Yang Kalah!". Ada rasa kesatria saat Bambang Pacul memberi pengakuan bahwa pertarungan di pemilu 2024 adalah pertarungan yang sengit, tidak mudah dan berat. Bambang Wuryanto pun akhirnya tumbang, sakit dan sempat di rawat di rumah sakit. "Untung ndak pasang ring", kelakarnya.
Entah berapa kali pertarungan politik yang sudah dilakukan oleh Bambang Wuryanto politisi kawakan PDIP ini. Komandan Korea ini saya kira sudah melalui dan melintas berbagai zaman, mengenali beragam karakter orang serta aneka situasi atau medan politik.
Saya tertarik dengan pengakuan dan legowonya saat mengakui taktik, strategi dan kehebatan lawan politiknya. "Strategi saya di Amati, Tiru dan Modifikasi tiga kali sehingga saya harus mengakui saya kalah." Taktik politik yang demikian hanya bisa dilakukan oleh panglima, atau kekuatan yang memiliki strategi tempur yang tidak instan. Bambang Pacul mengakui dan mengatakan strategi ini sudah disiapkan tiga tahun yang lampau.
Saya takjub, menyimak obrolan antara Deddy Corbuzier dengan Bambang Pacul ini saya jadi tertarik untuk menyoroti aspek pertarungan politik atau strategi perang dalam konteks kecil [politik].
Kacung
Â
Saya juga tertegun dan teringat bagaimana perang dalam kisah Mahabarata. Saya ingat kematian Bisma. Si Kakek Bisma ini tidak hanya menanggung perih lahir dan batin saat menghadapi kematiannya yang agung. Bisma yang agung harus mati di tangan Srikandi. Panah Arjuna yang menjaga fisik atau raganya itu menggambarkan betapa remuk kekalahan yang dihadapi Bisma.
Kekalahan Bambang Pacul sebagai Komandan Juang PDI-P saya kira tidak seperih Bisma, tetapi pedih dan sakitnya sama. Sebagai seorang komandan, kacung kalau sering Bambang Wuryanto mengatakan, ia merasakan betapa prajurit kompi dan peleton paling depan merasakan pedihnya pertarungan yang tidak imbang.