Kampus erat kaitannya dengan tradisi akademik, tradisi berpikir. Di kampus inilah orang diajak berpikir sistematis, terstruktur dan berbasis data.
Budaya ilmiah di kampus tidak sekadar mengajak kita untuk bertindak berdasarkan pijakan data namun juga sebuah upaya dalam menegakkan tradisi berpikir.
Golongan kampus memang sering disebut sebagai golongan akademisi, intelektuil. Mereka yang di kampus memang belajar dan meneliti, tetapi mereka juga punya tri dharma yang tidak boleh lepas dari kegiatan kampus yakni pengabdian masyarakat.
Sejarah universitas di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari tiga tradisi penting yakni penelitian, pembelajaran dan pengabdian.Â
ManipulasiÂ
Saat ini kampus di Indonesia mengalami problem krusial. Ibarat orang terkena kanker, ia sudah masuk di stadium empat.
Salah satu yang mati dan dominan di kampus adalah hilangnya budaya akademik.
Diskusi-diskusi kampus kian minim, dialog dan bedah buku kian surut. Mahasiswa dan dosen seolah sibuk dengan aktifismenya masing-masing. Respon dan suara kampus terhadap isu nasional semakin redup.
Problem itu diperparah dengan banyaknya kasus plagiasi tidak hanya datang dari kalangan mahasiswa tetapi juga kalangan doktor dan dosennya.Mereka menempuh jalan pintas dengan jual beli penelitian atau skripsi. Ditambah lagi menjamurnya sindikat jual beli jurnal bereputasi internasional atau scopus. Tujuannya adalah kenaikan tunjangan dan kredit akademik.Â
Kampus adalah kawah candradimuka bagi para mahasiswa. Arbi Sanit pernah mengatakan bahwa kuliah itu idealnya sepuluh tahun. Dengan waktu yang lama itu mahasiswa tidak hanya mengenal aktifisme kampus tetapi juga menjadi jembatan antara kampus dan masyarakat. Dalam waktu yang cukup itu mahasiswa berproses baik dari sisi akademik maupun pengalaman hidupnya.Â
Desain perkaderan mahasiswa saat ini pun kian hilang. Kampus dituntut untuk mempercepat kelulusan mahasiswa. Mahasiswa lama kuliah dianggap aib dan sampah bagi kampus.
Progresifitas intelektual dan kematangan pengalaman organisasi tidak dianggap sebagai bagian dari proses pembelajaran di kampus.Â
Alhasil kampus hanya menjadi pencetak para pekerja yang memenuhi skrup-skrup kapitalisme semata. Kampus berhasil mencetak ribuan pekerja tanpa memperhatikan aspek-aspek lain yakni intelektualitas.Â
Kampus mestinya mencetak intelektualitas yang memihak. Kampus harus bisa mencetak akademisi yang tidak hanya lihai  dalam urusan penelitian dan berpikir kritis, namun juga menciptakan pemikir yang inovatif dan berdaya guna.Â
Bangsa yang besar seperti Indonesia membutuhkan manusia yang memiliki mentalitas kuat, cerdas dan memiliki nurani. Jangan sampai kampus mencetak manusia jalan pintas yang maunya enak dan cepat tanpa mau berusaha keras seperti yang disinggung oleh  Koentjaraningrat tentang watak negatif masyarakat kita.Â
Instant