Mohon tunggu...
Arif Susanto
Arif Susanto Mohon Tunggu... Relawan - Impact Maker Indonesia

Impact before Success. Menciptakan impact artinya meniti tangga menuju puncak-puncak kesuksesan. Pemahaman dan konsep ini perlu dipahami lebih banyak orang sebagai bentuk cita-cita dan rencana hidup yang bertumbuh.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Jadilah Patriot Progresif!!! Narasi KAMMI Sebagai Gerakan Patriotisme Progresif

10 Januari 2015   20:00 Diperbarui: 17 Juni 2015   13:25 307
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1420869520328767906

Dalam visi perjuangan KAMMI, KAMMI bercita-cita melahirkan kader-kader pemimpin yang mampu mewujudkan bangsa dan negara Indonesia yang Islami. Maka orientasi utama KAMMI adalah melahirkan kader-kader yang mampu menjadi pemimpin sejak hari ini hingga masa depan. Pemimpin yang mampu memimpin dan mengelola kepemimpinan menjadi sumber keberkahan, kesejahteraan, keadilan, dan ketaatan pada Allah SWT di bumi Indonesia. Juga menjadi ustadiatul alam, menjadi guru bagi alam semesta.

Ikhitar mewujudkan visi KAMMI ini dilakukan dengan melakukan kaderisasi secara massif, sistemik dan berbobot. Selain itu dilakukan juga upaya pembelajaran dan pengkaryaan kader KAMMI di berbagai lembaga di dalam dan di luar kampus. Sejak didirikan 29 Maret 1998, kader-kader KAMMI telah dipercaya mengelola lembaga Intra Kampus di berbagai daerah di seluruh Indonesia. Ini adalah pengalaman empirik yang akan menjadi wasilah bagi pembentukan jiwa kepemimpinan kader-kader KAMMI.

Tantangan Kampus yang Tidak Lagi Ramah Pada Aktivisme Mahasiswa

Menjelang satu dekade pasca Reformasi, gerakan Mahasiswa mengalami kegundahan tentang orientasi dan strategi gerak Gerakan Mahasiswa. Pemerintahan SBY saat itu membuka keran demokrasi dan saluran aspirasi sehingga suara dan kritik yang selama Orde Baru terbungkam bisa bebas mengalir. Hal ini membuat gerakan mahasiswa seperti kehilangan elan vitalnya karena semua warga masyarakat hingga Anak TK sekalipun bisa berunjuk rasa menyampaikan aspirasinya. Meski Presiden SBY dianggap hanya bisa membuka keran aspirasi namun tidak menjawab aspirasi-aspirasi itu, mahasiswa kehilangan lakon utamanya sebagai penyambung lidah rakyat selayaknya era Orde Baru.

Perubahan atmosfer dan sistem pendidikan di Perguruan Tinggi akibat Komersialisasi dan elitisasi Kampus sejak BHMN diberlakukan tahun 2000, membuat Kampus menjadi tidak ramah bagi aktivisme Mahasiswa. Populasi di kampus didominasi mahasiswa dengan ekonomi relatif mapan. Hal ini diakibatkan peningkatan biaya masuk dan hidup di Kampus sehingga orang miskin enggan dan tidak memiliki keberanian masuk Perguruan Tinggi. Biaya tinggi membuat mahasiswa menimbang setiap waktu dan aktivitasnya dalam hitungan biaya. Karena membayar tinggi, mahasiswa merasa dan dipaksa merasa hanya perlu fokus pada aktivitas akademis yang berorientasi lulus cepat agar biaya yang dikeluarkan untuk kuliah tidak ‘mubadzir’ dan semakin banyak.

Tantangan lainnya adalah adanya upaya keras dari rezim dan kampus menjadikan Mahasiswa mengabaikan persoalan politik kebangsaan dan hanya bergulat pada dunia akademis di kelas, praktikum dan tugas yang menumpuk. Pemberlakukan 80% kehadiran sebagai syarat mengikuti Ujian yang berlaku di hampir semua kampus, menjadi senjata ampuh untuk “memenjara” mahasiswa di kelas kuliah. Pemberlakuan sistem lima hari kerja juga membuat lima hari mahasiswa menjadi padat dengan aktivitas kuliah dan praktikum, sementara akhir pekan adalah waktu menebus tugas-tugas yang menumpuk. Bahkan bagi Mahasiswa yang bergiat dalam kompetisi keilmuan seperti Pimnas, waktu yang tersedia sangat terbatas. Apalagi bagi aktivisme mahasiswa yang seringkali mengurusi tema-tema besar diluar dunia kuliahnya.

Realitas kampus kini juga berorientasi sekedar memenuhi kebutuhan kebutuhan dunia kerja dan indurstri. Tidak cukup tersisa lagi peran kampus melahirkan Begawan dan Negarawan. Ini adalah tantangan besar bagi Gerakan Mahasiswa seperti KAMMI yang ingin mencetak kader yang mampu menjadi Pemimpin, bukan semata pekerja atau profesional an sich. Meski kini juga mulai banyak gugatan atas profesionalisme dan kompetensi para alumni Kampus yang lulus cepat dengan IPK nyaris empat.

Dibukanya ASEAN Community pada akhir 2015 menghadirkan momok tersendiri bagi Gerakan Mahasiswa. Masyarakat Ekonomi ASEAN segera ditafsirkan sebagai tantangan persaingan kualitas manusia antara Pribumi/Bumiputera Indonesia dengan pekerja-pekerja dari negara-negara ASEAN yang sepertinya akan membanjiri Indonesia. Kompetisi antar pekerja lokal dan asing memicu kesadaran pembangunan kompetensi manusia Indonesia. Hal ini membuat kampus semakin memiliki legitimasi untuk membuat Mahasiswa kuliah rajin, IPK besar dan lulus secepat-cepatnya. Dan ini menjadi tantangan besar bagi upaya melahirkan Negarawan dan Begawan yang mengisi ruh dan jiwa, bukan semata faktor produksi, bagi keberjutan Masa Depan Bangsa.

Tantangan Kompetisi Terbuka Antar Bangsa

Apakah faktor persaingan kompetensi pekerja menjadi penentu utama dalam persaingan antar Bangsa di era ASEAN Community? Dalam kacamata ekomonomi, hal ini mungkin adalah prioritas utama. Namun bagi Indonesia sebagai sebuah Bangsa, persaingan antar Bangsa bukanlah persoalan ekonomi semata.  Ada persoalan yang lebih kompleks daripada soal ekonomi, yakni tentang kedaulatan Bangsa, ketahanan Nasional, jati diri Bangsa, kebudayaan Daerah, Kebudayaan Nasional Indonesia, kesejahteraan Rakyat asli Indonesia, dan persoalan lainnya. Apakah solusinya hanya dengan menjadi pekerja profesional yang ditempuh dengan lulus cepat dan IPK tinggi? Tentu tidak.

Yang harus kita khawatirkan sebagai sebuah bangsa dalam kompetisi terbuka antar Bangsa ASEAN adalah potensi tidak terwujudnya cita-cita bangsa sebagaimana terkandung dalam Pembukaan UUD 1945 dan terjadinya dinstegrasi Bangsa. Bagi Nasionalis sejati yang cinta NKRI, hidup dalam keterbatasan namun Kemerdekaan dan Keutuhan NKRI tetap terjaga adalah lebih baik daripada melihat Rakyat Indonesia menjadi budak di Negeri sendiri dan NKRI terpecah belah. Dan tentu lebih baik bila Kedaulatan dan Keutuhan NKRI tetap terjaga dan hidup rakyat Indonesia menjadi makmur sejahtera di era ASEAN Community kelak. Namun melihat kondisi yang ada, rasanya ASEAN Community lebih menjadi ancaman bagi kedaulatan, keutuhan dan kesejateraan umum NKRI.

Maka harusnya sebagai Bangsa kita juga berfikir dan berupaya sekuat tenaga mengantisipasi ancaman terhadap kedaulatan, keutuhan dan kesejateraan umum NKRI yang kita cintai. Inilah yang harus menjadi Pekerjaan Rumah (PR) utama Gerakan Mahasiswa di Indonesia. Sumbangsih terbesar kita adalah melahirkan Negarawan-negarawan yang akan memastikan Indonesia tetap berdaulat, tetap utuh dan dan Rakyat Indonesia menjadi semakin sejatera dalam era ASEAN Community.

Bahwa dalam rangka menunaikan tugas ini kita harus memiliki kompetensi dan profesioalisme kerja yang memadai hingga bisa bersaing dan tidak menjadi budak di Negeri sendiri, maka itu adalah konsekuensi dan tugas dari PR utama kita. Bahwa demi menunaikan PR Kebangsaan kita, kita harus menjadi politisi, menjadi pengusaha, menjadi investor, menjadi birokrat, menjadi teknokrat, menjadi akademisi, menjadi apapun profesi kita, ini adalah konsekuensi dan ikhitar dari cita-cita kebangsaan kita.

Menata Persatuan dan Nasionalisme Kita Saat Ini

Sebagai sebuah masyarakat Bangsa Indonesia, memiliki musuh bersama dan kesamaan penderitaan adalah alat pemersatu yang tetap menjaga Nasionalisme dan Persatuan kita. Ini terbukti dalam perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia dimana musuh bersama bernama kolonialisme dan penjajahan, baik Belanda ataupun Jepang, menjadi faktor pemersatu yang membuat seluruh rakyat bersatu dan berjuang mewujudkan kemerdekaan. Keberadaan musuh dan penderitaan yang sama membuat kita Rakyat Indonesia saat itu, siap dan rela berjuang dan berkorban apapun demi Kemerdekaan Indonesia sebagai pintu gerbang menuju kehidupan yang lebih baik.

Namun, manakala musuh bersama berupa penjajah itu telah hilang atau semakin abstrak, rasa Nasionalisme dan Persatuan itu kian surut dari sanubari kita. Ketika perbedaan nasib dan ketidakmerataan penderitaan menjadi jamak, tidak ada lagi solidaritas dan persatuan sebagai sebuah bangsa untuk berjuang dan berkorban demi Indonesia. Maka yang tersisa adalah generasi Indonesia yang hanya peduli pada diri, kebahagiaan dan karirnya, bukan pada Nasib dan Kondisi Bangsanya. Sebagian generasi muda kini hanya peduli pada narsisme, eksistensi, pertemanan, cinta, prestasi, sekolah, pekerjaan, karir dan kebahagian dirinya. Ini adalah raealitas zaman karena persatuan dan nasionalisme kita baru bisa terbangun ketika ada musuh dan persamaan nasib dan penderitaan yang sama, bukan pada kondisi absurb dan tenang seperti saat ini.

Hal ini juga tampak dalam perilaku Pemuda dan Mahasiswa aktivis pergerakan Mahasiswa. Ketika musuh bersama bernama orde baru dan sebagian aktivis telah menikmati kue proyek dan kekuasaan, maka perhatian dan dinamika Pemuda dan Mahasiswa aktivis lebih besar pada persoalan eksistensi, kekuasaan, panggung politik, jabatan dan akses ekonomi juga kekuasaan. Aktivisme Pemuda dan Mahasiswa kini kering dengan tema kebangsaan, nasionalisme, apalagi patriotisme kecuali seidkit sebagai bahan jualan demi proyek dan akses kekuasaan. Bila aktivis Pemuda dan Mahasiswa sudah kering dari jiwa Besar Kenegarawanan, pada siapa lagikah nasib Bangsa Indonesia ini disandarkan?

Menjadi Patriot Progresif Indonesia

Bila Nasionalisme dan persatuan kita sejauh ini hanya bisa terbangun dalam kondisi memilik musuh bersama dan kesamaan penderitaan, maka harus ada solusi kebangsaan dalam menghadapi kondisi zaman yang seperti saat ini. Meski sesungguhnya ancaman dan musuh itu tetap ada, tapi globalisasi dan berbagai pe-nina bobo-an telah membuat kita sebagai warga negara dan Bangsa merasa nyaman dan tidak memiliki musuh apapun. Dan rasanya juga sangat sulit untuk membangkitkan kesadaran “persamaan penderitaan dan musuh bersama” pada kapitalisme media kian tidak berpihak pada nasib Kebangsaan kita.

Maka, jalan yang harus ditempuh adalah menggeser semangat persatuan dan nasionalisme itu dari Patriotisme melawan Penjajahan dan Merubah Nasib bersama, menjadi Patriotimse memperjuangkan terwujudnya cita-cita kemerdekaan Indonesia. Hal ini dibahasakan oleh Yudi Latif dalam bukun Negara Paripurna sebagai Patriotisme Progressif.

Untuk keluar dari kubangan persoalan Bangsa, Patriotisme Progresif dituntut menghadirkan kemandirian Bangsa tanpa terperosok pada kepicikan xenopobia. Seturut dengan tujuan Nasional, Patriotisme Progresif berorientasi melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial, setidaknya dalam lingkungan kebangsaan Indonesia. (Yudi Latif, 2011: 378)

Jiwa Partriotisme Progressif ini adalah jawaban agar kesadaran dan keresahan kita sebagai anak Bangsa tetap berada pada keberpihakan dan Kepentingan Nasional Bangsa Indonesia. Untuk tetap menjaga nalar kesadaran bahwa persoalan nasib Bangsa dan Rakyat Indonesia adalah jauh lebih penting daripada esksistensi dan kebahagiaan diri sendiri selayaknya dipraktikan oleh pejuang, pahlawan dan pendiri Bangsa Indonesia.

Manakala kesadaran Patriotisme Progressif ini mampu tersemai dan menjadi kesadaran umum Mahasiswa, Pemuda dan Rakyat Indonesia secara umum, maka kita tidak perlu khawatir dengan berbagai persoalan yang mendera Bangsa dan Rakyat Indonesia karena saat itu semua rakyat terlah siap bergotong royong dan menjadi Nasionalis dan Patriot-patriot yang akan berjuang dan berkorban apapun demi menyelesaikan Persoalan Kebangsaan tersebut. Maka sebesar apapun masalah Kebangsaan kita, kita akan menghadapinya bersama sebagai Satu Bangsa Satu Perjuangan.

KAMMI sebagai Gerakan Patriotisme Progresif

Salah satu faktor terpenting yang menjadi alasan kelahiran KAMMI adalah kehendak untuk menyelamatkan Bangsa dan Rakyat Indonesia yang pada saat menjelang Reformasi sedang mengalami berbagai problem dan krisis kebangsaan. Ini adalah salah satu alasan utama KAMMI dideklarasikan di Malang dan menjelma menjadi lokomotif Reformasi 1998. Dalam perkembangannya KAMMI melakukan pembangunan infrastruktur dan sistem organisasi dalam rangka melanjutkan perjuangan kebangsaan usai  Reformasi terjadi.

Dalam Paradigma Perjuangan KAMMI, dalam rangka melahirkan kader-kader Pemimpin terbaik yang terus membawa Perbaikan Indonesia, KAMMI merumuskan empat Paradigma Perjuangan berupa Gerakan Dakwah Tauhid, Gerakan Intelektual Progressif, dan Gerakan Ekstraparlementer. Ini adalah empat Paradigma yang menghantarkan KAMMI menjadi salah satu gerakan mahasiswa terbesar di Indonesia saat ini.

Seiring semangat dan kesadaran Ke-Indonesia-an untuk terus menguatkan Kontribusi Kebangsaan dan Kontribusi Kebangsaan sebagai jalan mencetak kader-kader Pemimpin, layaklah KAMMI menyempurnakan paradigma perjuangannya dengan menjadikan Gerakan Partiotisme Progressif sebagai paradigma perjuangan KAMMI. Ini adalah komitmen sekaligus strategi bagi KAMMI untuk senantiasa terdepan menjadi lokomotif perbaikan Bangsa Indonesia dengan cita-cita besar yang sederhana: Menjadi yang terdepan Mewujudkan Seluruh Cita-cita Kemerdekaan Indonesia.

Kader-kader KAMMI harus menjelma menjadi anak-anak Bangsa yang menjadikan Dakwah, diskusi, demonstrasi, belajar, dan berkarya sebagai sarana berkontribusi mewujudkan cita-cita kemerdekaan Indonesia dengan potensi dan kompetensi yang dimiliki para kader KAMMI. KAMMI hadir memadukan tiga pilar penting, yakni pilar keshalihan (individu & sosial), pilar kompetensi keilmuan yang diperoleh di kampus dan buku, dan pilar kesadaran dan kapasitas Pergerakan aktivisme Mahasiswa. Dengan perpaduan ketiga pilar ini, KAMMI akan semakin kokoh dalam melahirkan Pemimpin-pemimpin dalam berabagai bidang yang berorientasi mewujudkan cita-cita kemerdekaan Indonesia.

Dengan menjadi Patriot Progresif, kader-kader KAMMI akan mampu menjadi wasilah mempersatukan kembali jiwa dan semangat putra-putri Indonesia untuk bersama berbuat dan berkorban sebagai patriot progresif yang akan mewujudkan cita-cita Kemerdekaan Indonesia sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945. Kesadaran inilah yang akan menjadi faktor kunci untuk Indonesia tetap menjadi Indonesia yang berdaulat, adil dan makmur dalam persaingan ASEAN community dengan menciptakan ASEAN berketertiban yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun