Mohon tunggu...
Arif Rachman Hakim
Arif Rachman Hakim Mohon Tunggu... -

Nama saya Arif Rachman Hakim, nama panggilan Arif. Saya lahir di Purwodadi pada tanggal 22 Desember 1991. Anak ke dua dari lima bersaudara. Sekarang saya sedang dalam proses study S1 di Universitas Ibn Khaldun Bogor. Singkat kata, saya merasa senang bisa bergabung di Kompasiana. Salam demokrasi! =)

Selanjutnya

Tutup

Politik

Kebebasan Pers Untuk Rakyat

29 Desember 2011   14:20 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:36 455
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pernahkah kita membayangkan jika tidak ada kebebasan pers di negara ini? Bisakah kita membayangkan ide dan pikiran kita terkurung oleh kekuasaan penguasa tanpa bisa kita keluarkan?

Ya, keadaan seperti itu pernah dialami oleh rakyat bangsa ini dalam kurun waktu yang sangat lama. Rakyat bangsa ini dipaksa menerima berbagai kebijakan yang sengaja dibuat untuk mengkebiri ide dan pemikiran mereka. Kekuasaan pemerintah kolonial Belanda membuat kebebasan berpikir rakyat kita dipagari oleh absolutisme penguasa. Tekanan pemerintah kolonial saat itu melahirkan ide pemberontakan untuk segera melakukan perubahan, salah satunya melalui pers. Raden Mas Tirto Adi Suryo yang memberanikan dirinya dibaptis sebagai wartawan inlander pertama di bumi pertiwi. Lewat semua tulisannya yang tertuang dalam koran Medan Prijaji, Raden Mas Tirto Adi Suryo mencoba untuk mendobrak kebijakan Pemerintah Kolonial saat itu. Mengusung ide dan aspirasi rakyat kecil, Raden Mas Tirto Adi Suryo memberikan sedikit cambukan kepada kekuasaan yang memerintah saat itu. Berbagai upaya pemerintah Kolonial untuk menghentikan seruannya pun bukan menjadi penghalang baginya untuk tetap bersuara keras. Pembredelan menjadi teman setia sehari-hari. Namun, kecintaan Raden Mas Tirto Adi Suryo terhadap tanah airnya tampaknya lebih besar daripada upaya Pemerintah kolonial saat itu. Bagaikan api yang disiram bensin, suara Raden Mas Tirto Adi Suryo semakin keras memperjuangkan nasib rakyat kecil yang tertindas.

Hari yang dinantikan pun tiba. Negara ini memproklamasikan kemerdekaannya sebagai negara yang berdaulat. Kehidupan Pers sedikit mendapat nafas baru. Iklim pers nasional pun berubah menjadi sejuk. Namun, nafas baru itupun tak mampu mempertahankan kesejukan iklim nasional yang mulai merangkak. Pemerintahan Orde Baru yang menjanjikan kebebasan dan keterbukaan hanya menjadi sebuah retorika belaka. Pengekangan dan pembatasan terhadap pers seolah terulang kembali. Sejumlah surat kabar dan majalah dibredel antara tahun 1972-1978. Majalah sendi terjerat delik pers karena dianggap telah menghina kepala negara dan keluarganya. Sinar Harapan menyusul karena dianggap membocorkan Rencana Anggaran Belanja Negara yang belum dibahas oleh dewan di sidang parlemen. Pembredelan pada masa itu pun terus berlanjut. Pada tahun 1978, sejumlah media massa seperti Kompas, Sinar Harapan dan Merdeka juga dibredel. Aksi kalangan mahasiswa yang menolak pencalonan Soeharto menjadi presiden menjadi pemicu utamanya.

Masa Orde baru benar-benar menjadi masa kelam pers pasca penjajahan kolonial Belanda. Kebebasan berpendapat yang merupakan hak asasi setiap manusia seolah menjadi hak penguasa. Akibatnya, banyak tindakan penguasa yang menyimpang dari Konstitusi Negara. Semua kebijakan yang diambil oleh penguasa pada saat itu hanya menguntungkan rezim Soeharto. Rakyat dipaksa menerima segala kebijakan itu tanpa bisa mengeluarkan aspirasi mereka. Kebijakan Pemerintah saat itu ibarat perintah Tuhan yang harus dilaksanakan tanpa bisa dibantah oleh manusia. Penguasa seolah menggunakan pers sebagai media untuk mempertahankan kekuasaannya. Segala kegiatan pers pada masa itu jauh dari arti demokratis. Pemerintah bertindak sebagai pengawas kejam yang tidak segan-segan memberangus pers yang dianggap bertentangan dengan kepentingan mereka. Kritik terhadap penguasa pun melemah. Konten berbagai media massa seolah telah diskenario dan dipesan oleh penguasa. Segala pendapat yang berbeda dengan pendapat penguasa dianggap sebagai upaya pemberontakan. Akibatnya, hanya sedikit media massa yang berani bercerita tentang kebusukan kebijakan pemerintah saat itu.

Tekanan penguasa terhadap kebebasan berpendapat memicu semangat mahasiswa untuk melakukan perubahan. Kerusuhan Mei 1998 menjadi puncak kemarahan rakyat terhadap tindakan penguasa yang sewenang-wenang. Massa pengekangan Orde baru pun berakhir dengan banyak darah yang tertumpah. Sungguh ironis jika kita kembali mengingat peristiwa itu. Kebebasan berpendapat yang merupakan hak asasi setiap manusia harus diperoleh dengan pertumpahan darah. Ironisnya lagi hal itu dilakukan oleh penguasa negeri sendiri. Pasca peristiwa memilukan itu, pers kembali mendapatkan nafas baru untuk yang kedua kalinya. Kebebasan untuk mengeluarkan pendapat dan aspirasi benar-benar menjadi kenyataan. Media massa yang dulunya "dibunuh" pada masa Orde Baru kini dilahirkan kembali. Pers kembali berfungsi sebagai pilar sekaligus pengawas demokrasi.

Tetapi kebebasan ternyata tidak sepenuhnya menciptakan keadaan pers yang kondusif. Kebebasan tersebut justru banyak disalah artikan dan disalahgunakan oleh berbagai pihak. Kebebasan pers yang berkembang saat ini cenderung negatif, yaitu kebebasan yang benar-benar bebas tanpa aturan. Padahal, kebebasan pers yang diperjuangkan dulu adalah kebebasan pers yang bertanggungjawab dan memiliki akuntabilitas. Bukan malah melepaskan diri dari segala aturan. Kebebasan yang kebablasan itu terlihat dari konten yang disajikan oleh berbagai media massa maupun elektronik saat ini. Banyak media massa yang sengaja menampilkan gambar-gambar berbau porno untuk menarik minat pembaca. Belum lagi media elektronik yang hanya menyiarkan berita-berita yang hot saja. Arah perkembangan pers saat ini lebih cenderung menuju pers sebagai komoditi. Hal ini terlihat dari pemilihan konten media pers itu sendiri. Konten yang dianggap akan menaikan rating mereka cenderung lebih sering dimuat dan disiarkan. Hal yang demikian ini seolah menjadikan pers sebagai media perdagangan, bukan sebagai penyalur aspirasi rakyat. Fenomena miring yang muncul dari kebebasan yang terlalu jauh tidak hanya sampai di situ saja. Permasalahan itu terlihat dari banyaknya media massa yang hanya memiliki kapabilitas jurnalisme yang sangat minim. Sedikitnya pengetahuan terhadap asas jurnalisme ini membuat kode etik terlupakan. Padahal, kode etik merupakan pedoman bagi pekerja pers untuk mendapatkan informasi yang benar dan akurat. Namun, yang terjadi sekarang ini adalah sebaliknya. Kode etik hanyalah sebagai formalitas belaka. Banyak pekerja pers yang bekerja dengan seenaknya sendiri. Akibatnya banyak pekerja pers yang bersitegang dengan informan ketika sedang mengais informasi. Tindakan tersebut jelaslah sangat jauh dari arti kebebasan pers yang diharapkan oleh masyarakat.

Kondisi pers saat ini seolah mengulang pers zaman penjajahan dan orde baru. Bedanya, pers sekarang ini sudah mendapat kebebasan. Namun, kebebasan yang didapat itu tampaknya belum mampu mengembalikan fungsi dan peranan pers seutuhnya. Kebebasan itu justru membawa dilema tersendiri. Banyak penyalahgunaan kebebasan disana sini. Penyalahgunaan kebebasan pers ternyata tidak hanya dilakukan oleh para pekerja pers semata. Kebebasan pers yang kebablasan ini pun dimanfaatkan oleh penguasa sebagai ldang untuk menanam pencitraan mereka. Para penguasa berlomba-lomba untuk mendapatkan simpati dari rakyat. Liberalisasi menjadikan kepemilikan perusahaan pers sedikit banyak dipegang oleh penguasa. Penguasaan terhadap pers oleh penguasa tak ubahnya seorang nahkoda yang sedang mengarahkan layar perahunya. Mereka menjadikan media massa maupun elektronik sebagai kendaraan politik mereka. Hal ini menyebabakan terjadinya saling serang antara media yang satu dengan media yang lain, tergantung dari kepentingan dan siapa pemilik media tersebut. Akibatnya, pers hanya terfokus memberitakan semua wacana penguasa yang tidak jelas realisasinya. Isu-isu dan keluhan rakyat kecil menjadi terabaikan. Rakyat seolah diposisikan sebagai seorang anak kecil yang harus menerima nasehat orang tuanya. Padahal nasehat yang diberikan itu belum tentu benar seluruhnya. Ironis memang, pers yang seyogyanya menjadi media pendidikan kini sedikit demi sedikit beralih fungsi menjadi media penanaman ideologi yang tak jelas arahnya. Pers seolah menjadi alat "pembodohan" masal yang bekerja secara perlahan.

Melanjuti fenomena miris tersebut maka fungsi pers yang disalahgunakan oleh berbagai pihak harus segera dihilangkan. Pers harus disadarkan dari hipnotis pihak-pihak yang mengusung kepentingan mereka. Penyediaan ruang publik yang demokratis harus diwujudkan. Kebebasan pers harus dikembalikan ke dalam track kebebasan yang demokratis dan bertanggung jawab. Bukan kebebasan yang hanya mengusung etika sebagai sandangan para pekerja pers saja. Kebebasan itu sendiri menjadi abstrak ketika diinterpretasikan oleh berbagai pihak. Publik sebagai sasaran pers harus menentukan bagaimana kebebasan yang seharusnya dilakukan oleh pers. Sudah saatnya pers kembali menjadi wadah pemikiran rakyat atas segala macam bentuk penindasan penguasa. Sudah saatnya pers kembali menyanyikan keluhan rakyat atas kebijakan penguasa. Sudah saatnya suara rakyat terdengar ke seluruh penjuru negeri ini. Idealisme untuk rakyat yang kita butuhkan sekarang. Ayo maju terus pers Indonesia!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun