Dua puluh tujuh siswa duduk rapi dalam kelas kesenian, menunggu instruksi yang akan diberikan guru sambil memegang pensil dan menatap buku gambar. Maklum, masih SD, dalam paradigma Indonesia belum perlu alat tulis yang wah.
“murid-murid semuanya, hari ini kita bikin gambar pemandangan. Silakan semuanya bikin gambar pemandangan.”
Lalu lonceng berbunyi, kelas menjadi riuh, buku gambar dikumpul dan siswa berhamburan keluar. Tak berapa lama berselang, guru kesenian kita ikut pilang. Melakukan kegiatan yang biasa ia lakukan sehari-harinya dirumah sampai hari beranjak malam. Lalu mulailah ia melihat hasil kreativitas siswanya. Buku gambar pertama ia tersenyum. Buku gambar kedua, ketiga, sampai yang kedua puluh tujuh. Ia tersenyum, puas. Hasilnya persis seperti yang diajarkan. Gambar berformat dua gunung, satu jalan ditengah, satu pohon, satu rumah kecil, dan sisanya bentangan sawah.
Lalu ketika ditanya kenapa bisa sama?
Jawaban yang ada, “dari dulu gambar pemandangan seperti itu”.
Inilah fenomena. Keseragaman yang diseragamkan tapi tak tahu apa alasannya kenapa seragam dan untuk apa keseragaman.
Kreativitas dibatasi pada satu sudut pandang, begitupun dalam hal warna sepatu, warna pakaian, dan lain sebagainya, dan disaat yang sama dunia pendidikan berusaha menanamkan bhineka tunggal ika didada mereka.
Apakah ini generasi Indonesia hari ini?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H