Merespon artikel “Meminta Maaf itu Personal, Bukan Pengumuman”.
Sejak sosial media, manusia (yang menurut para psikis) sifat dasarnya memang narsis dan suka berbagi, ketemu sama medianya. Persis botol ketemu tutup, jadilah orang banyak “berbicara” disini.
Yang hobi soal gadget, cuap soal gadget, yang suka binatang, cuap soal binatang, pun dengan politik atau soal ekonomi, orang bicara sesuai emosinya. Dan sejak ramadhan kemarin, topik “ibadah” jadi trending, peak-nya pas lebaran, kata “mohon maaf” jadi jamak. Persoalannya, ini kemudian jadi prahara. Banyak yang menilai posting “ibadah” adalah cermin sombong (riya’) dan tidak pantas dilakukan. Berzakat, Sedekah, I’tikaf, Menolong sesama tidak laik ditampilkan, pun dengan memohon maaf, di kritisi!
Ini pendapat saya. Saya tengah riset untuk buku ke-20 yang rencananya akan terbit tahun depan, judulnya Creating Stories, soal mengapa sesuatu bisa menjadi viral. Salah satu sub babnya membahas soal Hijab, mengapa nge-Hit, muslimah ramai transform berhijab. Penyebabnya (dugaan saya, krn anti tesisnya masih belum kuat, tapi indikasi probabilitasnya kesana), tak lain karena Hijab menjadi bagian dari trend fashion. Tidak melulu berhijab karena alasan iman.
Tapi seiring waktu, walau dipicu karena trend, hijab yang awalnya gaya hidup, kemudian menjadi bagian hidup. Inilah yang saya sebut dengan Social Currency, yang berlaku untuk generasi Y dan X. Terlebih ketika sejumlah artis juga mulai berhijab berjamaah, dan sosial media bertanggung jawab menyebarluaskan semua ini, maka jadilah hijaber’s meningkat (referensi untuk isu ini bisa didapatkan di buku Middle Class Moeslem by Yuswohady). Dan buat saya, ini positif!
Jadi hipotesanya, perbuatan baik itu menular, sekalipun mungkin dipicu dengan alasan ‘absurd’. Orang yang memposting tengah membayar zakat, memposting tengah sedekah, memohon maaf atau membantu sesama adalah hal yang menular. Yang ketika orang lain melihatnya, menggerakkan mereka untuk melakukan hal yang sama.
Yang tadinya nggak bayar zakat, jadi bayar zakat, yang sudah bayar zakat, bayar 2 kali ^_^, yang nggak sedekah, mulai sedekah, yang sedekah dikit, mulai sedekah banyakan, yang nggak pernah I’tikaf, jadi I’tikaf. Pun bukan karena diawali alasan iman, buat saya ini tetap positif. Ketimbang mereka posting hal yang buruk, tengah mabuk2an misalnya. Bukankah yang ‘posting ibadah’ jauh lebih baik?
Platform ini berlaku untuk sebagian generasi Y (Lahir tahun 75 ke atas) dan hampir semua generasi X terlebih diperkotaan yang lahir ketika Google sudah ada. Mereka tidak akan tergerak jika “diprovokasi” dengan cara-cara masa lalu. Kemarin di Net TV, saya lihat profil The Jenggot, grup musik yang membawakan lagu-lagu religi dengan genre Hip Hop, menurut mereka, cara ini jauh lebih dahsyat untuk mengajak orang-orang muda belajar ngaji dsb. Mengapa Hip Hop, karena inilah “bahasa” yang sama untuk mereka para anak muda. Lagu religi bergenre kasidah, nggak mempan untuk merubah generasi X.
Dan kalau harus menarik kesimpulan & saran sekarang, maka saya akan mengatakan, mengingat masa depan diisi oleh anak2 generasi X, maka postinglah sebanyak-banyaknya hal-hal yang baik. Bukan karena riya’ atau sombong, tapi karena ini menular dan menggerakkan orang untuk melakukan kebaikan yang sama. Setidaknya, sebagai awalan… di negeri kita yang masih butuh motivasi agar orang ikut berbuat baik, tak terkecuali (jadi pengingat) untuk saya pribadi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H