Sepekan kemarin, predatory pricing  menjadi diskursus masif. Praktik transaksi yang dinilai merugikan UMKM dalam platform sosial media ini menuai pro kontra, terlebih ketika pemerintah 'menutup' layanan TikTok Shop. Ada yang merasa dirugikan, tidak sedikit yang menyambut baik.
Dalam e-journal Warmadewa berjudul Pengaturan Predatory Pricing Transportasi Online Dalam Perspektif Hukum Persaingan Usaha menjelaskan 'dalilnya', tercantum pada Pasal 20 Undang-undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Menurut Gunawan Widjaja sebagaimana tertera dalam jurnal hukum tersebut, predatory pricing disebut sebagai strategi yang digunakan oleh pelaku usaha dengan menetapkan harga yang sangat rendah pada barang atau jasa yang mereka hasilkan dalam suatu jangka waktu yang cukup lama, hal tersebut mereka lakukan untuk menyingkirkan pelaku usaha lain yang menjadi pesaingnya agar keluar dari pasar, atau juga untuk menghambat pelaku usaha yang lain masuk ke dalam pasar tersebut.
Artinya, penjual memasarkan produk di bawah harga yang berlaku umum, bahkan dibawah harga pokok. Dua hal ini menjelaskan mengapa hal itu bisa terjadi.
Pertama, produk subsidi ChinaÂ
Presiden Jokowi menyampaikan bahwa 90 persen produk yang dijual murah melalui TikTok Shop berasal dari impor sebagaimana dikutip dari DetikNews. Sekalipun tidak disebutkan dari negara mana, namun banyak keluhan yang disampaikan pelaku UMKM adalah murahnya produk-produk yang berasal dari China.
China merupakan negara yang memiliki instruktur yang tertata baik, sehingga mempu memproduksi barang-barang dengan harga murah. Selain itu, mereka juga memberikan subsidi untuk produk ekspor. Dalam laman Liputan6.com, pengamat ekonomi dari Indonesia Strategic and Economics Action Institution Ronny P Sasmita memberikan penjelasan lebih rinci. China memberikan subsidi yang besar untuk mempertahankan pasar, bahkan menambah pasar. Sejak krisis finansial 2008, permintaan atas produk China ikut terpengaruh. Agar permintaan ekspor terjaga, yang bisa menyebabkan produsen gulung tikar dan PHK masal, maka China memilih langkah subsidi masif, sehingga produk mereka menjadi kompetitif alias sangat murah.
Kedua, barang yang tidak habis terjual
Sebagaimana dikutip dari VOI, salah seorang pedagang di Pasar Tanah Abang bernama Uni menyampaikan bahwa barang murah yang dijual di TikTok Shop merupakan barang yang tidak habis terjual alias barang dingin. Â Barang-barang tersebut, dioper ke pedagang online di TikTok Shop dalam skala besar, dan jauh di bawah harga pasaran. "Itu barang dingin. Jadi barang yang tahun kemarin gak habis, kita jual murah ke orang yang live shopping di TikTok itu. Misalnya ada 400 pcs, biasa kita jual Rp 195.000 per pcs, dilempar ke dia 400 pcs dengan harga cuma Rp 95.000 per pcs," kata Uni sebagaimana tertera dalam laman berita VOI.
-
Jika mengacu pada dua alasan di atas, maka istilah Predatory Pricing yang disebut sebagai alasan penutupan TikTok Shop, patut ditinjau kembali. Tiga hal ini menjabarkan pertimbangannya.
Competitive Advantage