Mencuat lagi, wacana lama agar Dai, Ulama atau Penceramah Agama memiliki sertifikasi. Konon, sudah ada negara yang melakukan ini, Malaysia di antaranya. Namun di negeri +62, situasi lebih komplek dan berujung silang sengketa. Dengan pengalaman sebagai pengelola lembaga pendidikan berbasis profesi, mendorong saya untuk turut berbagi informasi soal ini.
Ada hal yang harus dipahami soal sertifikasi keterampilan, baik itu profesi pun kompetensi yang bisa masuk dalam kandungannya. Sertifikasi keterampilan ini dikeluarkan oleh lembaga dengan basis pendidikan vokasi. Belakangan vokasional mendapat perhatian karena lulusannya yang secara nyata dirasakan dunia kerja.Â
Bahkan kata Prof. Dasi Astawa selaku Ketua Kopertis Bali (sekarang L2FDikti) dalam kata pembukanya di kampus kami, menyampaikan bahwa 90an % lembaga pendidikan di Cina itu vokasi, sisanya program sarjana. Dan jika mengukur dari keberhasilan Cina sekarang, nampaknya pendidikan vokasi punya andil dalam pencapaian itu. Sementara di Indonesia, rasionya terbalik, alasan yang mendorong pemerintah menaruh perhatian pada pengembangan vokasional.
Kebutuhan sertifikasi ini kian penting, karena penggunanya pun semakin kritis. Banyak perusahaan yang mencari SDM dengan sertifikasi keterampilan, karena tidak harus mendidik kembali secara khusus. Inilah poin plus sertifikasi keterampilan, karena fokus hanya pada bidang yang ditekuni saja.Â
Di lembaga sertifikasi ini, hanya berpusat pada mata pelajaran yang berkaitan dengan keterampilan yang mau dikuasai siswa saja, tidak ada mata pelajaran lainnya. Sementara di jenjang sarjana, ada mata kuliah umum seperti humaniora atau mata kuliah lain yang harus dipelajari sebagai pemahaman dasar berkarir nanti. Misalnya pelajaran Bahasa Indonesia, Budaya Dasar atau bahkan PPKN.
Sebelumnya, perusahaan kerap merekrut SDM untuk dilatih kembali agar keterampilannya sesuai dengan kebutuhan mereka, namun ini memakan biaya. Maka lembaga pendidikan sertifikasi keterampilan menjadi pembuka pintu utama bagi perusahaan untuk mendapatkan SDM yang siap kerja.Â
Misal, perusahaan akan mencari SDM dengan keterampilan akuntansi untuk bidang kerja akuntansi, sementara dulu, mereka mencari lulusan sarjana ekonomi yang belum tentu secara teknis memahami akuntansi. Pun di bidang lainnya, jika perusahaan membutuhkan tenaga terampil di bidang software, bisa mencari SDM dengan sertifikasi dari Microsoft misalnya. Begitu seterusnya.
Sertifikasi ini bisa diperoleh dari sejumlah lembaga, di antaranya Balai Latihan Kerja (BLK / milik pemerintah) atau Lembaga Pelatihan Kerja (LPK / dari Swasta) yang keduanya di bawah Dinas Tenaga Kerja dan Sertifikasi Kompetensi (Depnaker), dan Lembaga Kursus dan Pendidikan (LKP) di bawah Dinas Pendidikan dan Kebudayaan.
Di LKP, sifatnya kursus, sementara di BLK/LPK adalah pendalaman keahlian. Ilustrasi mudahnya begini, kalau mau belajar mengemudikan mobil, bisa kursus di LKP, seperti jasa kursus mengemudi.Â
Seseorang yang tadinya belum bisa mengemudi, bisa mengambil kursus ini. Tapi keterampilan mengemudi mobil, belum bisa membuatnya berprofesi sebagai pengemudi profesional, misal menjadi sopir di sebuah perusahaan atau instansi.Â