Mohon tunggu...
Arif Rahman
Arif Rahman Mohon Tunggu... Wiraswasta - instagram : @studywithariffamily

Bekerja untuk program Educational Life. Penelitian saya selama beberapa tahun terakhir berpusat pada teknologi dan bisnis skala kecil. Creator Inc (Bentang Pustaka) dan Make Your Story Matter (Gramedia Pustaka) adalah buku yang mengupas soal marketing dan karir di era sekarang.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

UN dan Menakar Rancangan Ideal Kurikulum Pendidikan di Indonesia

13 Desember 2019   10:43 Diperbarui: 13 Desember 2019   16:31 786
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Awal tiap pemerintahan dimulai dengan pendidikan anak-anak muda kita.

Pythagoras
Karier saya sebagai pendidik dimulai tahun 2008 sebagai guru les di sebuah lembaga kursus. Itu setahun sebelum saya resign sebagai karyawan. Tadinya cuma mau memproduktifkan waktu sepulang kerja, belakangan ini justru jadi karier utama yang mengantarkan saya akhirnya mendirikan sekolah sendiri.

Ketika itu, saya mengampu pelajaran Ekonomi dan Akuntansi. Saya ingat betul bagaimana mengajarkan siswa semata untuk membuat mereka berhasil melewati Ujian Nasional (UN). Pada tahun-tahun tersebut, UN belum lama diperkenalkan sebagai syarat kelulusan sekolah, dan ini menakutkan bagi banyak siswa. 

UN menjadi tolok ukur keberhasilan yang membuat siswa dan sekolah akhirnya habis-habisan menggembleng siswanya. Bahkan sejumlah sekolah, konon "melakukan segala cara" agar anak didiknya lulus. Kelulusan siswa, terlebih dengan nilai yang tinggi, akan menjadi prestasi dan kebanggan bagi sekolah.

Saya turut larut waktu itu, dan mempelajari secara sistematis bagaimana 'mekanisme' UN bekerja. Melihat tren soal-soal sebelumnya, membuat pemetaan soal-soal yang punya peluang muncul, hingga saya mampu membuat sebuah kisi-kisi yang memprediksi soal-soal mana yang berpotensi akan keluar. 

Sampai sekarang, saya masih ingat dengan baik, soal pertama Ekonomi SMU, itu biasanya dibuka dengan pertanyaan soal 'apa masalah ekonomi,' dan soal terakhir, biasanya 'Jurnal Penutup' di materi Akuntansi. Ini, berdasarkan tren yang beberapa kali terjadi.

Saya bahkan cukup bangga dengan hasil analisa tersebut yang membantu anak-anak didik lulus UN dengan baik. Dan hal ini, juga dilakukan oleh banyak guru-guru lainnya.

Fatalnya..., ternyata semua ini kesalahan besar!

Hari ini, kita semua melihat bagaimana sistem pendidikan kita tidak bisa menjadi pemecah masalah, kualitas SDM yang stagnasi, dan masih banyak yang kesulitan membangun kariernya.

Sementara di satu sisi, UN sendiri berdampak negatif secara sistemik pada sejumlah kondisi yang tidak kita harapkan, mulai dari banyaknya siswa yang depresi, bahkan hingga bunuh diri karena tidak lulus.

Dan yang paling fatal, UN menjadikan guru mengajar tidak sesuai mandatnya sebagai tenaga pendidik, yang bertanggung jawab untuk mentransformasi ilmu kepada anak didiknya, menjadi pengayom agar anak-anaknya tumbuh dengan kemampuan yang mumpuni. Namun justru, guru sibuk mencari cara habis-habisan agar siswa siswi didiknya bisa melewati UN. 

Padahal, esensi mengajar itu adalah belajar, guru memberikan materi ajar untuk mengajar, bukan semata lulus tes, sehingga sibuk 'cari akal bulus' mengejar kelulusan.

Yang terjadi kemudian, kita punya generasi anak-anak muda yang terlatih untuk fokus pada ujian akhir, bukan pada proses. Dari sinilah hulu masalah yang kemudian menjalar ke mana-mana.

Pada akhirnya, tidak mampu menyelesaikan masalah bangsa ini, daya kompetisi yang rendah, enggak sabaran, tak gemar menabung, self defense yang terbatas bahkan kemandirian serta semangat juang yang naik turun, adalah buah dari keputusan kita untuk mendidik lahirnya generasi yang tidak memahami esensi proses.

Sialnya lagi, teknologi tiba-tiba seolah kesurupan, mendisrupsi habis-habisan berbagai bidang, dan merubah cara kerja dan model keberhasilan. Akses menjadi tak terbatas, kemungkinan dan peluang ada di mana-mana, pun demikian dengan resiko dan tanggung jawabnya. Semuanya tergantung pada siswa, sejauh mana mereka bisa mengelola diri dan karir agar terus berkembang.

Sementara di satu sisi, banyak generasi milenial yang tak percaya diri menghadapi revolusi industri yang kini tengah berlangsung. Survei Deloitte ke-7 yang dilakukan terhadap 10.455 responden kaum millenial dan 1.850 responden Gen Z di 36 negara mengungkapkan, 25 persen kaum millenial di Asia Tenggara belum siap menghadapi tantangan industri 4.0. 

Mereka pesimis menghadapi perubahan, dan ingin dunia bisnis membantu mereka mengembangkan keterampilan yang diperlukan agar berhasil. Kedua generasi ini juga menunjukkan penurunan tingkat loyalitas, ketidakpercayaan pada motivasi dan etika pebisnis masa kini, serta kecenderungan mereka pada gig economy.

Itu sebabnya, di lingkungan terdekat, kerap kita lihat, masih banyak anak-anak muda yang setelah menyelesaikan pendidikannya, baik kuliah ataupun SMA/SMK, mereka tidak punya rencana apa-apa untuk berbuat sesuatu, tidak dengan keinginan untuk bekerja, atau melanjutkan pendidikan ke level yang lebih tinggi. 

Kalaupun mereka bekerja, milihnya untuk kerjaan yang dirasa nyaman. Ketika mendapat sedikit tantangan kerja, dengan mudahnya mereka memutuskan resign.

Perubahan digital yang memicu lahirnya generasi milenial, ternyata tak diimbangi dengan sistem sekolah dan lembaga pendidikan yang mumpuni. Di level kampus, ada kasus ijasah palsu, yang melengkapi isu-isu lama lainnya seperti jual beli nilai atau dosen yang tidak kompeten. Belum lagi kurikulumnya yang jauh tertinggal. 

Di tingkat yang lebih bawah, ada konflik soal kurikulum 2013 VS KTSP 2006 yang tak kunjung kelar hingga hari ini. Lalu output seperti apa yang bisa dihasilkan dari proses pendidikan yang semrawut? Pantaskah jawabannya adalah generasi semrawut?

Mereformasi Manusia
Cara efektif untuk memulai sebuah perbaikan, adalah mencari benchmark. Ketika bicara pendidikan dalam sekala nasional, maka Finlandia adalah role model yang boleh kita jadikan rujukan. Di awal 90an, sebagaimana Indonesia, negara agraria yang serupa Indonesia ini juga mengalami krisis. 

Tepatnya di tahun 1993, upaya pertama yang dilakukan oleh pemerintahnya adalah pembangunan manusia. Ketika itu Finlandia berada di tengah resesi paling parah sejak 1930-an, pengangguran mencapai 20%, GDP berkurang 13%, perbankan runtuh dan utang publik meningkat.

Secara garis besar, nyaris sama dengan apa yang dialami oleh Indonesia di akhir tahun 1980an karena minyak, dan akhir 90an karena krisis moneter.

Perbedaannya adalah respon dari krisis. Langkah kongkrit yang diambil Finlandia adalah berinvestasi besar-besaran pada inovasi, melakukan percepatan privatisasi perusahaan milik pemerintah dan badan publik, serta mempercepat liberasiasi pasar keuangan dan kepemilikan asing. 

Langkah ini diambil dengan asumsi bahwa memfasilitasi inovasi sektor swasta jauh lebih baik daripada intervensi dan investasi tradisonal pada kebijakan riset dan pengembangan.

Yang kedua adalah pengembangan pengetahuan dan keterampilan yang berpadu dengan kreativitas dan pemecahan masalah, fokus yang kuat pada matematika, sains dan teknologi.

Sementara Indonesia, ketika krisis pertama terjadi akhir tahun 1980-an karena jatuhnya harga minyak, pemerintah berupaya agar Indonesia lepas ketergantungan pada minyak dengan mensitumulasi pendirian lembaga keuangan, padahal ketika itu Indonesia masih bertumbuh dengan baik. 

Hal ini akhirnya menjadi faktor pemicu krisis kedua di akhir tahun 1990-an. Kali ini, pemerintah menata ulang ekonomi dan stabilitas politik. Keputusan inilah yang harus kita bayar saat ini, ketika pembangunan manusia tidak menjadi prioritas, maka sulit untuk mencapai kesejahteraan yang merata.

Untungnya, sebagaimana bahasa klise kita, enggak ada kata terlambat. Ketika pemerintahan relatif stabil dan ekonomi mulai mapan pasca-bubarnya Orde Baru, barulah kita mulai berbenah, menaruh perhatian pada pendidikan.

Kebijakan perdana adalah alokasi APBN sebesar 20% untuk pendidikan, hal ini adalah pembeda luar biasa dengan masa sebelumnya. Sekolah gratis dan akses masyarakat untuk mendapat pendidikan kian luas.

Namun ini tak cukup. Dana adalah solusi untuk sebagian masalah pendidikan kita, namun tak semata yang utama. PR besarnya, adalah program pendidikan yang kokoh dan berkelanjutan, inilah topik utama yang bisa memicu debat panjang sampai subuh.

Ada dua isu besar perbaikan yang ditawarkan pemerintah, yang pertama soal Kurikulum 2013, sementara lainnya soal Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI). 

Kurikulum 2013 (K-13) ditetapkan pemerintah untuk mengganti Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan/KTSP 2016, dimana K-13 memiliki 4 aspek penilaian, yaitu pengetahuan, keterampilan, sikap, dan perilaku. 

Sementara KKNI adalah perwujudan mutu sistem pendidikan nasional, kesetaraan capaian pembelajaran (learning outcomes) yang juga mengacu pada 3 hal, yakni Pengetahuan, Keterampilan, dan Sikap, untuk menghasilkan sumber daya manusia yang bermutu dan produktif.

Kedua program itu digulirkan pemerintah, karena salah satu proyeksinya adalah lulusan yang memiliki keterampilan kerja. Di negara seperti China, SDM yang memiliki keterampilan jumlahnya sangat besar, dan ini diyakini menjadi bagian dari kesuksesan ekonomi negara Tirai Bambu tersebut.

Sebaliknya di Indonesia, lebih banyak lembaga pendidikan non-terapan, sehingga lulusannya cakap pengetahuan namun minim keterampilan.

Program ini secara garis besar banyak mengadopsi sistem pendidikan di Finlandia, sebagai negara yang pendidikannya dinilai paling baik saat ini, bahkan menjadi kiblat bagi sejumlah negara maju lainnya.

Memang ada perdebatan soal sistem pendidikan China dan Finlandia yang bertolak belakang. China berhasil menciptakan SDM yang cenderung meniru secara mekanistis sehingga kemajuan negaranya tercapai. Sebaliknya Finlandia, mengedepankan kreativitas dan inovasi.

Namun secara umum, perubahan yang ditawarkan pemerintah berkonsep activity based, mengubah cara lama yang cenderung teori dan hafalan (rote memorization) ke orientasi keterampilan yang lebih tinggi (high order thinking skills) -yang belakangan populer dengan istilah 21st century skills. Untuk itulah pembelajaran bersifat kontekstual, hands on (praktik) lebih dikedepankan.

Secara garis besar, konsep program ini menggeser banyak hal. Kurikulum yang dirancang berorientasi pada eksperimen dan masalah. Misalnya, di tingkat SD ada yang namanya Tematik Terpadu, mata pelajaran yang diambil berbasis aktivitas. Kemudian penekanan pada soft skills, yang diyakini menjadi bagian penting dari keberhasilan seseorang di era modern ini.

Namun kendala terbesar dari program ini adalah implementasinya. Jangankan mereka yang bukan pegiat pendidikan, para guru yang kesehariannya belajar mengajar pun kesulitan menerapkan K13, ataupun konsep KKNI secara utuh dan benar.

Yang masih kita lihat saat ini, ujian terstandarkan melalui UN masih tetap ada, sekalipun tidak lagi sebagai syarat kelulusan yang utama. Pekerjaan Rumah (PR) di sejumlah sekolah juga masih diberikan oleh guru-guru, yang menilai bahwa ini penting untuk bekal pengetahuan siswa.

Padahal di Finlandia, konsep yang dikedepankan adalah "sedikit mengajar, belajar lebih banyak, tidak ada PR berlebihan, sedikit ujian, dan siswa tidak ada yang tinggal kelas (konsep drill -mengulang-ulang pelajaran- ternyata tidak relevan dengan kualitas lulusan). Pada akhirnya, berujung pada tidak adanya lagi program les tambahan di Finlandia.

Di Indonesia, banyak yang berlomba-lomba memberikan les tambahan ke siswa, sekalipun sudah belajar full day di sekolahnya.

Dengan aplikasi kurikulum 2013, justru sekolah berlomba memperpanjang jadwal akademik, bahkan mencanangkan 1 hari penuh, dan tidak sedikit yang full day school, PR seabrek, les tambahan dicanangkan, di-drill dengan program ekstensi, bahkan baru belajar 2-3 pertemuan, sudah harus ujian.

Kita contoh model pendidikannya, tapi kita nafikan ekosistemnya. Dampaknya, ketika anak belajar Tematik, mereka bingung cara memperoleh ilmunya (konsep seharusnya adalah pembelajaran bersama) akhirnya justru membuat mereka cemas.

Di Finlandia, hanya 7% siswa yang cemas dengan sekolah, berbanding 52-53% di sejumlah negara maju, yang saya yakini di Indonesia, angkanya bisa lebih tinggi lagi.

Mendesain Kurikulum
Mari kita telaah lebih detail, apa yang kita lakukan, dengan apa yang Finlandia terapkan, sebagai negara yang lebih maju sistem pendidikannya.

1. Ngapain UN?
Perlukah ujian terstandarisasi sebagaimana UN? Di Indonesia, UN menjadi biang dari sejumlah konflik antar para pakar pendidikan. Finlandia sendiri -dan juga sejumlah negara maju, tak lagi menerapkan standarisasi sebagaimana UN, namun menyerahkan sepenuhnya kepada sekolah.

Saat ini, UN memang sudah tak lagi menjadi acuan kelulusan, namun entah bagaimana, sepertinya ada faktor dari guru-guru sekolah juga, UN menjadi momok yang mengerikan, walaupun tidak 'se-horor' dulu.

Konsep di Finlandia, adalah sedikit ujian, belajar lebih banyak. Di mana proses asesmen atau ujiannya, terdiri dari 3 lapis.

Pertama dari guru di kelas secara diagnostik. Kedua formatif (evaluasi yang dilakukan setiap akhir pembahasan dari satu pokok bahasan) dan sumatif (evaluasi yang dilakukan setiap akhir satu satuan waktu yang di dalamnya tercakup beberapa pokok bahasan, umumnya dilakukan akhir semester/caturwulan). Ketiga dengan pendekatan metodologi berbasis sampel.

Sementara di Indonesia, guru justru cenderung merancang ulang materi ajarnya agar sesuai dengan ujian, lebih memprioritaskan mata pelajaran yang diujikan, serta menyesuaikan metode pembelajaran dengan latihan berulang, semata dengan orientasi pemikiran agar siswa bisa lulus ujian.

Yang terjadi, siswa akhirnya cenderung menghapal informasi, ketimbang memahami pengatahuan.

2. Kurikulum berbasis modul (moving class)
Di Indonesia, kita mengenal matrikulasi umumnya hanya saat hendak kuliah di jenjang S2. Program ini berguna untuk memberikan gambaran akan perkuliahan di jenjang magister, karena pada banyak kondisi, ada mahasiswa yang berlatar pendidikan S1 hukum, namun memutuskan mengambil jurusan S2 Ekonomi. 

Program matrikulasi adalah proses "adjustment" agar mahasiswa memiliki gambaran secara garis besar terkait dengan ilmu ekonomi yang akan ditempuhnya selama kuliah.

Alasan kedua, matrikulasi digunakan untuk mengukur sejauh mana siswa tersebut memiliki pengetahuan dan kemampuan yang sesuai dengan bidang ilmu yang akan ditempuhnya. Matrikulasi menjadi alat ukur kemampuan siswa, karena landasan berpikirnya, seseorang tidak bisa belajar segalanya, tidak bisa menguasai segalanya.

Sementara di Finlandia, matrikulasi sudah diperkenalkan sejak level sekolah, jauh sebelum siswa kuliah. Sehingga sejak dini, siswa sudah terlihat minat dan keterampilannya di bidang apa. 

Nantinya akan ada sistem kelas berpindah. Siswa mengambil mata pelajaran yang sesuai dengan bidang keilmuan yang mereka minati. Jadi tidak seperti di Indonesia, di mana kita belajar begitu banyak bidang ilmu secara bersamaan, dituntut untuk bisa di semua mata pelajaran, kemudian dites semua, seolah kita adalah mahluk yang bisa menguasai segalanya.

Sejauh ini di Indonesia, penjurusan baru dilakukan selepas SMP bagi mereka yang hendak meneruskan ke jenjang SMK, karena memang kejuruan. Namun di SMU, mereka baru ada pembagian konsentrasi ke IPA atau IPS. Padahal, penjurusan ini idealnya sudah diterapkan sejak kelas 4 SD.

3. Enggak perlu tinggal kelas
Tinggal kelas itu mahal, tidak efisien dan ternyata, tidak pula menjadi solusi bagi siswa yang tidak naik kelas. Apalagi jika tidak naik kelas semata gagal di satu mata pelajaran, kenapa yang diulang harus semua?

Dampak dari kembali ke kelas yang sama dengan siswa yang lebih muda, justru meruntuhkan moral siswa, dan jarang memberi jalan pada perbaikan akademisnya. Maka ide membuat siswa tidak naik kelas cuma jadi lingkaran setan saja.

4. Enggak perlu ada PR
Para pendidik di Finlandia, tidak percaya bahwa mengerjakan PR menjamin proses belajar menjadi lebih baik, mengerjakan latihan berulang-ulang (drill) tidak memberikan nilai tambah. Ini alasan kenapa siswa di Finlandia, tidak mengikuti privat atau tutorial tambahan selain di sekolah.

5. On The Job Training
Seperenam pelatihan, diberikan dalam bentuk On The Job Learning atau magang, works experience yang merupakan bagian integral dari kurikulum untuk SMK. Hal penting yang juga sebaiknya diterapkan di Indonesia secara terstruktur dan masif.

Sebagai tenaga pengajar, saya pribadi merasakan bagaimana sulitnya mengajar dalam satu kelas dengan kemampuan siswa yang berbeda-beda. Ketika kita memberikan materi A, maka siswa yang menyukai mata pelajaran materi A secara sigap mampu mengimbanginya. 

Sebaliknya, tidak pada siswa yang tidak menyukai materi A, yang akhirnya merasa bosan. Kondisi ini sebenarnya bisa diminimalisasi dengan pendekatan konsep ajar ala Finlandia di atas, sehingga setiap siswa akan mendapatkan materi yang sesuai dengan minatnya, dan menjadi bekal yang tepat untuk mereka berkembang.

Asupan untuk siswa di Indonesia
Lalu seperti apa konsep ideal dari kurikulum pendidikan kita?

Cara Finlandia terbukti secara akademik mengangkat kualitas SDM-nya, menghindari negara tersebut dari ketertinggalan, kemerataan kesejahteraan, dan minimnya kasus korupsi. Namun di satu sisi, kecuali Nokia yang kini telah diakuisisi, maka relatif tidak banyak hal yang menonjol dari negara agraris kecil di Eropa ini.

Jepang dan Korea, menerapkan konsep yang dinilai mirip dengan Finlandia, namun melahirkan lebih banyak hasil nyata secara ekonomi saat ini.

Sebaliknya dengan sistem pendidikan di Amerika dan beberapa negara Eropa Barat, lebih mengedepankan apa yang sering dijadikan komedi satire, yakni Rat Race, upaya mati-matian mengejar American Dream dengan berlomba-lomba mencapai puncak.

Hal tersebut seolah menegaskan sistem kapitalisme yang tak membolehkan mereka berhenti bergerak. Kondisi ini tak melulu menciptakan kemerataan, tapi berbagai sumber kemajuan hingga hari ini, terutama soal inovasi dan hal-hal baru, lahir dari negara ini.

Lalu Indonesia memilih yang mana?

Pada dasarnya, setiap sistem dan desain pendidikan haruslah disesuaikan dengan kondisi masyarakat di suatu negara, karena tak semuanya bisa terpasang dengan baik. 

Apa yang kita miliki sekarang melalui K13 dan KKNI pada dasarnya sudah mewakili upaya perbaikan pendidikan dan pembangunan orang yang digagas pemerintah. Tinggal bagaimana menjadikan semua ini teraplikasi dengan baik. Salah satu caranya dengan membawa konsep-konsep pengembangan manusianya dituturkan dengan cara yang sederhana dan aplikatif.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun