Jianc*k!!! Ya.ya..ya.., saya tak harus membubuhkan tanda bintang untuk membuat kata umpatan khas Surabaya ini seolah tampak sopan, tapi toh tetap saya lakukan, karena selama di Surabaya minggu lalu, saya justru nyaris tak mendengar kata-kata ini terlontar dalam keseharian 'canda' arek-arek Suroboyo, dan ini.. aneh! Â Â
Surabaya adalah kota yang bisa dibilang paling sering saya kunjungi, bahkan kota pertama yang saya datangi saat masih SD di luar Bali, kesan pertama yang terpatri di kepala, ini bukanlah kota ramah yang nyaman untuk tinggal, bahkan untuk singgah sekalipun.Â
Karakter masyarakatnya yang keras, umpatan2nya yang mengikis perasaan, bahkan atmosfernya yang panas dan gersang, adalah alasan tepat untuk menjauhi kota ini. Bahkan jika hanya Surabaya kota yang selamat dari kiamat bak film 2012 sekalipun, saya masih akan mempertimbangkan untuk pergi ke kota ini.
Tapi 2 tahun terakhir, saya 2 kali berkesempatan singgah sejenak di Surabaya. Tahun 2017 ketika tour 5 kota saat promo buku saya Creator Inc, dan sepekan silam saat menghadiri rangkaian acara Hari Pers.
Dan kini Surabaya, tak lagi sama..
Entah bagaimana, dalam 2 kesempatan itu, saya merasakan cuaca tak sepanas sebagaimana terpatri dalam memori, Bali jauh lebih 'membakar' beberapa tahun terakhir. Masyarakatnya ramah, jalanan rapi, nyaris tak ade macet yang berarti, kotanya buerssiiihhh, lingkungannya asri, dan tersedia ruas untuk berjalan kaki yang bebas dari kendaraan mesin. Nyaman sekali berjalan-jalan di Surabaya saat malam menjelang, sebagaimana kota-kota disejumlah negara maju.
Untuk naik bus kota, cukup bawa sampah plastik bekas sebagai 'mata uangnya', nggak perlu Rupiah untuk bisa menikmati kota dengan bus yang nyaman, tak seperti dulu bus tampak kumuh dan ugal.
Apa motor perubahannya? Mungkin, faktor pemimpin bisa saya jadikan 'alibinya'. Jujur saja, dulu saya nggak percaya satu pemimpin yang benar, bisa melakukan perubahan radikal dengan eksponensial dalam waktu cepat, tapi nyatanya, sekarang ada yang melakukannya.
Sepak terjang prestasi Ibu Risma sudah lama saya dengar, bahkan dinobatkan sebagai salah satu dari 25 orang paling berpengaruh di dunia mengalahkan Mark Zuckerberg. Tapi  baru kemarin saya bersua dan mendengarkan penuturannya soal pembangunan kota secara langsung dari dekat.
Ibu Risma tak seperti kebanyakan pejabat yang bersolek, hijabnya ala tahun 60an era nenek saya, pakaiannya jauh dari kata modis, tutur katanya blibet terutama ketika melafalkan Inggris. Tapi ia bekerja dengan hati, ia bercerita bagaimana satuan tugas yang ia perintahkan menutup Dolly justru ciut nyalinya, "sudah sini bawa pentunganmu, saya sendiri yang akan turun untuk nutup Dolly," katanya bernostalgia. Ketakutan ditutupnya Dolly akan menambah pengangguran, nyatanya hari ini, kemiskinan di Surabaya sudah tinggal 5%, turun drastis dari 12% ketika awal ia menjabat.
Siola Convention Hall tempat acara Pemberian Penghargaan dalam rangkaian Hari Pers yang saya datangi, dulunya Night Club, sekarang berubah menjadi Museum Surabaya yang cantik plus kantor layanan publik, "saya pindahkan kantor layanan publik kemari, supaya jalan Tunjungan nggak sepi, karena ini jalan legendaris di Surabaya," ujarnya lagi berstrategi agar gedung-gedung aset pemerintah teroptimalkan.