Berapa banyak dari kita yang pernah melihat kenalan atau orang-orang dekat disekitar, yang dengan percaya diri mendeklarasikan jasa bisnisnya, membuat design, layanan foto, videografi, event organizer, website bahkan membuat aplikasi mobile phone atau merekam lagu-lagu karyanya dan menyebut diri sebagai musisi. Dan ternyata dalam hitungan bulan, kita mendapati mereka mengeluhkan kegagalan penjualan hasil kerjanya, mulai pesimis dengan karya-karya yang dihasilkan, dan belakangan, sebagian dari mereka memutuskan menjadi orang kantoran bahkan dengan bidang kerja yang tidak sesuai dengan keinginan mereka?
Persis, saya mengalami hal yang sama 13 tahun yang lalu. Usaha jasa publishing yang saya dirikan dengan super yakin, tepar dalam waktu hitungan bulan. Bahkan dengan berbagai upaya penyelamatan tingkat tinggi, tidak sanggup membawa usaha tersebut keluar dari jurang kepailitan. Alhasil, saya kembali balik kandang menjadi karyawan kantoran, lengkap dengan seragam kemeja dan dasi yang menjuntai.
Walaupun kalau mau jujur, memulai bisnis bukanlah pilihan utama saat itu. Sebagai seorang “konservatif” tulen, menjadi orang kantoran sebenarnya tidaklah terlalu buruk, kita bisa mendapatkan penghasilan rutin dan pasti setiap bulan. Sementara jadi wirausahawan, penuh risiko.
Coba bayangkan, hidup hanya dari menunggu orderan yang belum tentu akan datang, atau berharap konsumen singgah untuk membeli tanpa kepastian. Rasanya kok ngeri ya, menjalani hidup tanpa tahu berapa penghasilan kita esok hari? Saya sulit membayangkan hidup dengan cara seperti itu.
Tapi nyatanya, jadi orang kantoran tidak memberikan banyak ruang gerak untuk bertumbuh, bahkan belakangan menjadi konflik yang berujung pada resolusi baru, “saya tidak lagi ingin menjadi karyawan ketika berusia 30 tahun,” ujar saya waktu itu.
Dengan bekal hobi menulis yang sudah diasah sejak SD, maka dimulailah petualangan baru yang penuh liku melalui usaha penerbitan. Merasakan bagaimana pahit getirnya menjalani proses dalam industri ini, membuat sejumlah kesalahan yang sama sebagaimana para rookie di awal karir mereka, gagal di banyak proyek dan akhirnya mulai sustain setelah menemukan model bisnis yang sesuai.
Dan sekarang, saya mendapati ada begitu banyak kawan-kawan muda di sekitar, yang melakukan apa yang pernah saya lakukan dulu, melabeli diri sebagai
“self corporation”, yang sayangnya hanya bertahan tak lebih dari seumur jagung
Banyak diantara mereka yang masih menyodorkan konsep kreatif semata, yang belum sepenuhnya bisa menjadi solusi dari sebuah permasalahan. Padahal esensi dari kewirausahaan justru upaya untuk mencari solusi dan jalan keluar. Mereka asyik dengan produk yang dikembangkan, namun tidak tahu bagaimana produk-produk itu akan dimanfaatkan oleh pasar.
Inilah yang kemudian mendorong saya dan tim redaksi majalah Money&I, entrepreneurship magazine yang tim redaksinya saya pimpin, untuk melakukan sejumlah kajian, menelusuri lebih dalam bagaimana sebuah kesuksesan itu dibangun.
Sampling studinya kami kumpulkan dari narasumber pewartaan di majalah Money&I, para Kreator yang punya banyak persamaan, muda, adaptif, komunikatif, suka bekerja, ngotot, gigih, cerdik, lincah dan banyak mau. Mereka memulai karirnya tanpa modal, hanya berbekal keterampilan, ada animator, desainer, fotografer, penulis, digital startup, kreator konten dan berbagai profesi independent workers lainnya. Karir mereka bertumbuh, dari yang tadinya kerja sendiri, kemudian punya karyawan, hingga akhirnya menjadi bisnis (corporation/incorporation) yang menjanjikan. Itulah alasannya mengapa buku ini berjudul Creators.Inc.
Dan menariknya, tidak sedikit cara-cara yang mereka lakukan, memvalidasi pengalaman saya pribadi sebagai sesama Kreator, proses yang akhirnya mewujudkan resolusi untuk berdaya dengan karya sendiri.