Mohon tunggu...
Arif Rahman
Arif Rahman Mohon Tunggu... Wiraswasta - instagram : @studywithariffamily

Bekerja untuk program Educational Life. Penelitian saya selama beberapa tahun terakhir berpusat pada teknologi dan bisnis skala kecil. Creator Inc (Bentang Pustaka) dan Make Your Story Matter (Gramedia Pustaka) adalah buku yang mengupas soal marketing dan karir di era sekarang.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Time is Money, Serius Masih Percaya yang Begini?

17 Februari 2017   17:32 Diperbarui: 17 Februari 2017   18:14 643
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sambil berdiri, menghabiskan sarapan dengan mulut penuh roti, tangan kanan memegang handphone memeriksa email yang mungkin masuk semalam, tangan kiri mencoba mengkancing baju kemeja yang masih setengah rapi. Belum juga roti terkunyah sempurna, air minum di tenggak untuk mempercepat aliran makanan dari mulut ke lambung.sesekali berlari sembari mengambil kunci mobil, kecepatan pun dipacu. Setelah absen, briefing pagi dimulai, yel-yel motivasi itu pun ramai-ramai diteriakkan sebagai persiapan. Komputer dinyalakan, tanpa lelah pekerjaan secara maraton dilibas. Ketika jam 12 tiba, pekerjaan belum jua reda, alhasil baru setengah tiga waktu yang tersisa, makan secepat kilat di kantin basement dan kembali ke meja kerja, shift kedua pun dilibas hingga jam 8 malam. Setiap kali rasa lelah muncul, doktrin time is money terus membayang, kerja keras luar biasa agar karir cemerlang… yess..yess..yess seperti yel-yel kantor yang begitu gamblang.

Percaya atau tidak, itulah budaya era industri, mengajak kita mengejar mimpi dengan doktrin American Dream, time is money. Kerja keras bagai kuda, dengan durasi selama-lamanya yang bisa kita berikan, kalau nggak begitu, hidup nggak sejahtera.

Pertanyaannya sekarang, seberapa baikkah hasil pekerjaan kita dengan cara seperti itu?

Di dunia kreatif, cara ini adalah sistem terbaik untuk membuat kita mati gaya lebih cepat.

Masih ingat penelitian bahwa seorang akan menjadi ahli ketika menempuh pelatihan sebanyak 10.000 jam. Penelitian kecil dari K. Anders Ericsson ini hanya melibatkan 30 subyek pemain biola, namun menjadi populer ketika Malcolm Gladwell memaparkannya lewat buku Outliers yang sukses luar biasa. Konklusinya sederhana, bahwa mereka yang berhasil mencapai level master, setelah berlatih permainan biola selama 10.000 jam.

Namun ada satu hal yang jarang diketahui banyak orang terkait dengan penelitian ini. Ternyata, para pemain biola yang mencapai level master, berlatih dengan ritme tertentu yang erat kaitannya dengan fisiologis manusia. Tubuh kita, memiliki siklus rutin setiap 90 menit, mulai dari kewaspadaan tinggi, kemudian turun secara progresif hingga akhirnya lelah (fatique).

Para musisi yang diteliti oleh Ericsson, mulai berlatih pada pagi hari ketika energinya dipuncak, setelah 90 menit mereka kemudian beristirahat untuk memulihkan diri. Setelah itu mereka melanjutkan kembali untuk 90 menit kedua, dan kemudian pada 90 menit ketiga. Dan Ericsson kemudian menyimpulkan, bahwa 4,5 jam adalah waktu fokus tertinggi bagi seseorang mengerjakan proyek dalam satu hari. Pola ini, terbukti memberikan kinerja dengan hasil terbaik.

Ketika kita mulai bekerja, selama 90 menit tubuh bereaksi dengan optimal, dari puncak kemudian lelah, jika kondisi ini dipaksa untuk terus bekerja, hasilnya bukan semakin baik, justru sebaliknya. Itulah sebabnya kita harus break setidaknya 10 menit untuk mengonsolidasi energi, ketika pulih lanjutkan dengan bekerja 90 menit kedua. Kemudian istirahat untuk makan siang. Kembali lagi untuk 90 menit ketiga. Dengan cara ini, justru membawa kita pada hasil kerja yang optimal. Bahkan di Jepang, sistem ini sudah mulai diwajibkan, beberapa perusahaan bahkan memiliki kebijakan tidur siang bagi karyawannya, karena selepas tidur siang, walaupun cuma 10 menit, terbukti membawa karyawan bekerja lebih baik.

Saya pribadi mulai menerapkan pola ini, sekalipun bukan 3 tahap 90 menit, tapi 4 tahap per 90 menit. Saya mulai sarapan roti, telur dan kopi jam 8 pagi, dan berusaha tidak mengaktifkan internet sebelum jam tersebut, ibaratnya ini pemanasan. Bekerja di kantor jam 9 pagi, jam 10.30 saya break 10-15 menit untuk kudapan, dan kembali lagi hingga jam 12 untuk makan siang sekaligus sholat dhuhur. Kemudian kembali dimeja kerja jam 1 siang. Jam 2.30 break lagi sekaligus jemput anak sekolah, dan ini sudah 3 tahap 90 menit yang saya lewati, dimana 4,5 jam kekuatan fokus terbaik sudah saya habiskan. Dari jam 4 sampai 5.30, saya gunakan untuk pendinginan, menjawab mail-mail yang belum terbalas sekaligus mempersiapkan apa-apa yang harus dikerjakan esok hari. Harapannya nanti, 90 menit keempat ini bisa saya ganti dengan berolah raga, sekarang olah raga masih jadi jadwal angin-anginan ^_^.

Mulailah memetakan siklus kerja kita dengan baik, selama termin 90 menit yang kita miliki dapat dioptimalkan -bukan dengan hal-hal yang nggak ada kaitannya dengan kerja, maka diakhir hari, rekapitulasi performa kita jauh lebih baik daripada kerja keras dengan doktrin tanpa kenal lelah sebagaimana yel-yel kantor kita.. yesss.. yesss.. yesss..! Selamat mencoba…

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun