Mohon tunggu...
Arif Rahman
Arif Rahman Mohon Tunggu... Wiraswasta - instagram : @studywithariffamily

Bekerja untuk program Educational Life. Penelitian saya selama beberapa tahun terakhir berpusat pada teknologi dan bisnis skala kecil. Creator Inc (Bentang Pustaka) dan Make Your Story Matter (Gramedia Pustaka) adalah buku yang mengupas soal marketing dan karir di era sekarang.

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Artikel Utama

Jangan Kaget Kalau Tukang Bubur Bisa Naik Haji

10 Agustus 2016   19:07 Diperbarui: 11 Agustus 2016   00:39 762
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

(Saya justru kaget kalo eksekutif kantoran bisa naik haji ^_^)

Saban musim haji, expose media selalu soal kaum pinggiran yang sukses naik haji, entah itu tukang Bubur, Pemulung, Tukang Loak dll. Mereka tampil dalam Talk Show, sampai dibuat sinetronnya. Padahal sejatinya, bukan hal yang luar biasa kalo tukang bubur bisa naik haji. Kalo kita look deep inside, sebenarnya justru nggak begitu.

Saya punya toko yang parkirannya disewa oleh tukang Soto, sebelahnya Pedagang Nasi Goreng Pete, dan paginya di sewa oleh pedagang Nasi Kuning. Tukang Soto, jualan cuma setengah hari, omzet rata-rata per harinya Rp. 600 ribu, dengan laba bersih 50-60%, si tukang Soto ngantongi rupiah antara Rp. 300-400 ribu perhari. Sebulan, tidak kurang dari Rp. 9-11 jutaan. Setali tiga uang dengan Pedagang Nasi Goreng dan Nasi Kuning, yang jualan cuma beberapa jam aja, tapi hasilnya bisa jutaan hingga belasan juta per bulannya, dan itu untung bersih. 

Bahkan pedagang nasi Jinggo yang kita liat banyak di jalan, itu perhari bisa jual antara 50-150 bungkus, bahkan ada yang sampe 200 bungkus. Per bungkus, dapet keuntungan minimal Rp. 1000 perak (Kalo bikin sendiri nasinya, bisa marjin sampe 2000/bungkus), per bulan tidak kurang dari 4-5 jutaan masuk kantong sebagai penghasilan bersih. 

Jadi, jangan angap enteng hasil dari penjual gerobak, hal ini juga terjadi oleh Pemulung, Tukang Loak, Tukang Tambal Ban ato Penjual Bensin eceran, kalo mereka kerjanya bener, konsisten dan fokus, hasilnya nggak kalah sama eksekutif kantoran yang necis berdasi kerja di kantoran dengan perlente.

Kalo pake standar survey gaji dari Majalah SWA, penghasilan 4 juta per bulan udah lebih tinggi dari gaji Junior Staf (Rata-rata Rp. 2,5-3,5 juta) yang kerja 9 to 5 everyday, dan Tukang Soto yang nyewa lahan parkir toko saya, dapat penghasilan paling jelek sebulan 9 jutaan, ini setara dengan gaji kepala cabang kantor perusahaan swasta, atau selevel dengan posisi manajer/supervisor perusahaan kategori MNC. Kalo dikomparasi dari sisi pemasukan, kaum pinggiran ini justru lebih superior. Sekarang lihat dari sisi pengeluaran.

Tukang Soto dan Pedagang Nasi Goreng penyewa emper parkiran toko saya itu, tinggal di kos-kosan kecil, yang harga perbulannya nggak sampe 500 ribu, dan satu kamar kos bisa diisi beberapa orang, sama karyawannya. Hiburan mereka ke pasar malam, tongkrongannya paling pol kopi ABC yang harga pergelasnya Rp. 1000 rupiah, hiburannya nonton VCD bajakan. 

Hp yang mereka pake, merek cina KW. Bandingkan dengan eksekutif kantoran yang gajinya kalah besar dengan Tukang Soto, tongrongannya di mall-mall, kopinya per gelas Rp. 50 ribu, setiap weekend nonton di beskop yang tiketnya Rp. 75 ribu. Makan siangnya di bistro, handphonenya yang merek Steve Jobs punya. Dalam waktu setengah hari nongkrong pas weekend, mereka bisa habiskan seperempat dari gaji mereka.

Inilah potret nyata yang banyak ada disekitar kita, net worth tukang Soto dan Eksekutif kantoran, jelas lebih Joss si Tukang Soto. Tapi tiap kali ada berita soal Tukang Soto –atau Bubur- (dan sederet profesi yang dinilai kelas dua kayak ini), orang-orang ramai dan kaget, dan kalo eksekutif kantoran naik haji dinilai wajar. Padahal kalo saya justru sebaliknya, Tukang Bubur bisa naik haji, itu yang wajar.. wong lebih sugih, kalo eksekutif kantoran bisa naik haji, itu baru Wow!

Bukan dilihat dari profesinya, tapi hasil kerja, gaya hidup dan cara ngatur duit yang menentukan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun