Penjual Kacang Rebus di Sela Rintik Hujan
Rintik hujan masih gemerisik, sementara ia sudah mengayunkan langkah. Tak peduli baju basah. Tak ada mantel, apalagi payung.
"Memangnya bisa menuntun sepeda ontel sambil memakai payung," jawabnya setengah kesal.
Ini malam jumat pak, bisik hatiku
Ia tak pernah mengenal malam jumat, malam minggu bagi sebagian anak muda waktunya keluarkan bujuk rayu. Masanya telah lewat. Isteri pertamanya tak selamat ketika melahirkan anak pertama. Berikut jabang bayi dalam kandungannya. Tak sempat menyaksikan betapa keras dunia.
Betapa tidak, namanya desa jarak rumah satu ke rumah lainnya tidak seperti kota. Antara talang satu dengan talang tetangga kadang urunan. Jadi satu bangunan. Minimal seperempat hektar luasnya. Sebegitulah jarak paling dekat bertetangga. Eks tanah pecahan KK, kita sudah pada maklum semua.
Kotak dari bambu, berisi kacang rebus dalam bungkusan plastik seharga lima ribu.
Setelah beberapa langkah, keluar teriakan. Entah kepada siapa teriakan itu ia sampaikan.
"Kacang rebus, lima ribu! Kacang rebus, lima ribu! Ehm... Ehm."
Siapa yang akan membeli jika hujan begini? Jangankan mendengar teriakannya, orang-orang sedang menutup kuping takut suara guntur nyaring. Sebagian lainnya menutup telinga dengan headset untuk lagu-lagu kesayangannya.