Remahan Roti, yang Bergerak, dan yang Mati
Pesta belumlah usai
Namun remahan roti telah berserak di lantai
Kaki-kaki jenjang sepatu mengkilat
Anak tukang semir mendekat terusir
Untuk receh tak seberapa
Ia tahan dihina lalu pura-pura menutup muka
Padahal hatinya sangat kecewa
Dengan cantik ia mainkan adegan drama,
"Terimakasih, Pak. Mohon maaf."
Lalu pergi tak kembali
Kau tau, sepuluh hingga duapuluh tahun akan datang ia masih mengingatmu
Sejarah kelamnya adalah tentang dirimu
Dari satu kaki ke kaki lainnya
Remahan roti menempel
Mengotori kaoskaki
Ia terus saja bergerak
Ke luar restoran,
Club malam,
Hotel,
Kantor,
Hingga pintu rumah mereka
Remahan roti melekat naik ke atas kepala
Menutup mata
Menyumbat hidung
Membungkus nurani
Aku jadi teringat Duryudana dan Krisna
Ia lebih memilih pasukan narayani
Matanya hanya melihat jumlah kaki
Kekuatan dalam memenangkan pertempuran
Dan salah besar!
Seperti ingatan anak tukang semir dan harga dirinya
Seperti Duryunada yang buta mata hatinya
Seperti remahan roti yang terus bergerak
Kaki jenjang akan terkilir
Setelah bergerak melewati perempatan
Masa itu akan datang
Tentu saja yang mati tak akan menyaksikan
Yang sudah pergi hanya mampu mengenang dan menceritakan
Bagaimana remahan roti yang bergerak
Bagaimana yang mati
Mata, akal budi, atau harga diri
Mungkin saja satu pun tak akan ada yang membuatnya menyadari
Tb, 25 Pebruari 2021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H