Aku Hanyalah Aku
Aku mungkin jadi hujan, sebentar teduh sebentar lagi deras. Tak peduli pagi hingga petang. Tak peduli siang atau malam. Seperti umpan yang telah terpasang pada mata kail. Siap dilempar, ikan siap menyambar.
Sementara ikan tau persis, hujan bukan waktu yang baik untuk makan. Bersembunyi dalam liang lebih aman. Ikan kecil takut jadi santapan. Ikan besar takut tersambar halilintar.
Aku kadang menjelma jadi jala. Katanya jala paling mudah mengurung ikan. Nyatanya jalaku selalu jatuh di tempat kering. Hanya ikan kurus kerempeng yang terperangkap. Itu pun di bagian tubuhnya banyak koreng karena kalah bertarung.
Baca Juga Daun Pisang dan Daun....
Jika dibuang sayang, jika diambil alangkah kejamnya. Bukankah membiarkannya sembuh lebih beradab?
Jika sudah senja, senar pancing harus aku gulung. Dalam keranjang ada banyak ikan atau kosong sama sekali, memang waktunya pulang.
Kata orang waktu senja adalah saat ikan mulai lapar. Saat itu ikan akan menyebar. Namun, umpanku sudah terlalu hambar. Tak akan ada ikan yang sudi menyambar.
Aku. Memang aku hanyalah aku, dengan kail di tangan. Berharap cuaca terang. Berharap keramahan ikan dan rasa laparnya ketika siang. Ketika malam, pasti ikan-ikan telah kembali dalam pelukan kekasih aslinya. Lebih aman dan lebih tenteram.
Hadirku hanyalah untuk menangkap dan menyiksa, tersangkut kail bukanlah nyaman. Sungguh menyakitkan!