Mohon tunggu...
Bledhek
Bledhek Mohon Tunggu... Operator - ____________

Pengkhayal LEPAS

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Reunian Tak Sengaja di Pangkalan Ojek Perlimaan

31 Januari 2021   00:14 Diperbarui: 31 Januari 2021   00:47 656
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jalan hidup manusia sudah ditakdirkan, katanya. Tugas kita hanya berusaha

"Hai, Ping!" ia menyebutku begitu.

Aku dibuatnya kaget. Tak kukira ia masih mengenaliku, menyebut nama panggilan masa kecilku, setelah hampir 30 tahun kami terpisah. Teman SD sekelas. Nakalnya bukan kenakalan yang biasa aku lihat.

Beberapa wanita teman sekelas pernah ditelanjangi. Menangis sejadi-jadinya. Dan banyak lagi kenakalan yang ia lakukan, berkelahi sudah jadi makanan hari-hati. Saat itulah pertama kali aku mengenal kenakalan yang kelewat batas. Ia disetrap seminggu. Selanjutnya berhenti tak melanjutkan sekolah lagi.

Di atas meja dari triplek sisa bangunan. Pangkalan ojek di perlimaan, aku bertemu dengannya. Jadi tukang ojek pangkalankah, pikirku dalam hati.

Merasa tak enak hati, aku pun mengajaknya duduk menepi.

"Apa yang sedang kau lakukan di sini?" tanyaku.

Baca Juga Misteri Ular di Mulut....

Ia hanya menunjuk ke arah meja. Dua orang di sana sedang main catur. Beberapa lainnya jadi penonton.

"Sudah jadi bos sekarang ya?" katanya sambil mengamatiku dari kepala hingga kaki.

Aku terbahak-bahak. Tak ada potongan bos, jahitannya apalagi.

"Minta duitnya 100 aja!" katanya sambil menepuk bokongku.

Aku terdiam. Heran saja! Alangkah naifnya temanku ini. Tak ada basa basi sama sekali. Baru juga ketemu sudaj main todong saja. Kaya pembajak jalanan persis tingkahnya.

Untuk mengalihkan pembicaraan, aku sodorkan bungkus rokok. Kami pun menyulut bersama.

"Iya, iya. Gampang itu. Tapi untuk apa?" tanyaku.

"Aku sudah kalah 600 hari ini. Dua ratus upah ngangkut keranjang pengantin ludes (dua ratus ribu maksudnya). Sekarang sudah ngutang 400, makanya minta 100 buat modal nebus kekalahan tadi." lanjutnya.

Oh, rupa-rupanya di tempat itu sedang terjadi tahuran dengan main catur. Temanku tak tahu kalau aku pandai main catur. Kalau cuma main-main di tempat-tempat begituan tak perlu mikir lama. Gampang mengalahkan mereka.

"Berapa biasa taruhannya?"

"Terserah kita. Ayo lah mana duitnya tadi. Biar aku membalas kekalahanku."

"Gini aja, bilang ke mereka aku yang main. Tentukan taruhannya. Asal di atas utangmu. Ditambah upah angkut keranjang tadi."

Seperti tidak percaya dengan apa yang aku katakan. Dahulu sejak di SD memang aku dikenal paling tidal bisa bergaul. Apalagi main permainan dengan taruhan begituan.

Mungkin ia belum paham jika setiap hari ada perubahan kehidupan. Setiap waktu kemampuan, keterampilan, pengalaman. dan wawasan seseorang terbaharui oleh lingkungan dan pendidikan.

Cepat-cepat ia berdiri menuju meja tempat terjadinya taruhan. Entah apa yang disampaikannya, yang jelas permainan yang ada diberhentikan. Aku pun dipanggil untuk duduk berhadapan dengan orang dalam pertandingan catur dengan taruhan.

Pada saat separo permainan, datang seseorang ke tempat itu. Aku dikagetkan karena tiba-tiba saja ia menepul pundakku.

"Ngapain ke sini? Tempatmu bukan di sini," katanya.

Aku menoleh sebentar kemudian melanjutkan fokus pada papan catur.

"Sudah-sudah! Hentikan permainnya. Kamu gak bakalan bisa menang melawan ini." katanya pada orang-orang.

Mereka semua tertawa, tak percaya!

"Dia ini pelatihku. Juara di kabupatennya. Bikin pecah kepala saja jika melawannya. Jangankan se dompet. Uang kalian sekarung akan habis hari ini. Mending berhenti saja." lanjutnya.

Permainan pun dihentikan. Taruhan dibatalkan. Sementara dalam permainan yang sedang berjalan, aku memang pada posisi menang.

Teman yang menepuk bahuku ternyata adalah orang terkuat dalam permainan catur di tempat itu. Aku mengenalnya, karena hampir setiap malam kami bermain catur di pos ronda di kampung kami. Sekian puluh tahun sebelum aku pindah tempat tinggal.

Teman SD ku tadi lantas mendekatiku dan berbisik, "Lah seratus ribu tadi mana?" Sambil lagi-lagi menepuk bokongku.

Aku pun beringsut dari tempat itu, ia ngintil di belakangku. Dua ratus ribu melayang dari dompetku. Tanda ketemu teman lama. Tak mengapa, itung-itung reunian saja.

Melihat aku mengeluarkan uang dan memberikan kepada teman SD ku. Teman satu kampungku minta jatah juga ternyata. Tak mengapa, sekalian saja. Lima puluh ribu pun masuk ke saku bajunya.

Sambil pergi meninggalkan tempat itu aku berpikir, ternyata sejak kecil seseoarang telah dibekali dengan pengetahuan dan keterampilan oleh Yang Maha Kuasa.

Temanku, ia nakal dan sangat pemberani. Mungkin itulah yang dijadikannya kekuatan untuk menjalani hidupnya. Hidup dari kerja keras, hasilnya habis di meja pertaruhan.

Lingkungan tempat tinggalnya yang keras memaksa ia beradaptasi. Hasilnya, kekerasan menjadi perilaku kehidupan selanjutnya. Siapa yang akan menyangka bahwa roda kehidupan begitu berputar. Kadang ada yang di atas. Kadang ada yang di bawah. Setiap sosok peluka telah terisi dengan kemampuan keterampilan adaptasi.

Begitu juga teman-teman lain yang semenjak kecilnya telah rajin berjualan keliling. Orangtuanya, karena kondisi ekonomi mengharuskannya menjajakan es lilin keliling kampung. Begitu ketemu sekian puluh tahun berikutnya ternyata telah berhasil menjadi pelaku usaha uang mapan.

Ada juga yang suka berkelahi, masa dewasanya menjadi satpam di sebuah perusahaan, dan lain-lain contoh teman-temanku yang tak dapat aku sebutkan satu persatu.

Begitulah perjalanan panjang sebuah kehidupan, yang kata orang, 'hidup hanya sementara'. Namun untuk bekal kehidupan yang sementara ini, Yang Kuasa tak lupa selipkan bekal sejak masa kecilnya berupa kecenderungan dan lingkungan sekitarnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun