Mohon tunggu...
Bledhek
Bledhek Mohon Tunggu... Operator - ____________

Pengkhayal LEPAS

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Misteri Ular di Mulut Ikan Gabus dan Betapa Takutnya Saya terhadap Ular

30 Januari 2021   00:49 Diperbarui: 30 Januari 2021   05:51 3922
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Greeners.Co Ular Sendok Jawa, Sangat Diincar Meskipun Mematikan - Greeners.Co

Beberapa tahun lalu, ketika saya bertugas di daerah yang jauh dari rumah tinggal setelah selesai bekerja biasanya sore hari menghabiskan waktu berada di pinggir sungai.

Baca Juga Diary Nikmatka Menggunting....

Apalagi selain mancing tentunya. Padahal di sungai itu tidak banyak ikannya. Mengingat setiap kali musim kemarau, kebiasaan masyarakatnya adalah meracuni sungai dengan tuba (potasium klorida). Kami biasa menyebutnya putas. Daerah ini memang masih sangat pedalaman. Jadi tidak ada polisi yang tau dan melakukan pelarangan.

Tidak tanggung-tanggung, kadang katanya lebih dari 30 kg putas yang digunakan. Maklum mereka rombongan. Kadang satu kampung turun ke sungai. Katanya, mumpung kemarau, air surut. Ikan yang diambil hanya ikan besar. Antara lain, jelawat, pipih, hampala, toman, gabus, dan kakap.

Baca Juga Diary Bagaimana Kabarmu....

Sementara ikan kecil, seperti ikan keting, wader, lampuk, baung, dan ikan kecil lainnya dibiarkan saja.

Ikan langsung dibersihkan di tempat itu dan digarami dalam bak-bak besar. Mereka sebut ikan wadi. Persiapan untuk satu tahun mendatang, katanya.

Beberapa hari setelah peristiwa peracunan sungai itu saya mancing. Saya tidak tahu kalau sungai itu baru diracun. Pasti tak ada ikan seekor pun. Kiri kanan sungai masih banyak pohon-pohon besar, tebing-tebing batu terjal.

Tidak ada kecurigaan sama sekali, juga tidak ada yang memberi kabar saat itu. Jadi saya asyik saja mancing.

Setelah sekian jam, tak satu pun ada ikan yang memakan umpan. Maka saya bersiap untuk pulang. Selama menunggu umpan di makan, namanya sendirian macam-macam yang saya lakukan. Kadang jika ada suara burung, suara burung saya tirukan.

Baca Juga Dairy Berburu Kepiting Bakau....

Pada saat jonggkok berbenah, pada saat itu posisi saya sedang menghadap sungai. Secara tidak sengaja mata saya melirik ke sebelah kanan saya.

Kaget dan penasaran mengapa ada akar besar di dekat kaki saya. Jika akar itu sudah ada sejak semula, harusnya tadi sempat terduduki oleh saya. Hitam legam, mengkilat!

Tidak ada akar hitam mengkilat, pikir saya. Pelan-pelan saya perhatikan ke mana ujung akar itu. Ternyata akarnya naik ke dahan kayu di belakang saya bagian atas.

Bulu kuduk saat itu sudah berdiri. Ini pasti ular! Keyakinan itu memuncak begitu saya berdiri dan membalikkan badan. Begitu saya berdiri, ular itu pun berdiri tepat di hadapan wajah saya.

Di belakang saya sungai. Di depan ada ular berdiri tetap di depan wajah. Lidahnya menjulur-julur. Lidah bercabang dua, merah tua. Kepalanya mekar. Ini pasti king kobra!

"Waduh, mati aku," pikirku.

Badan dan ekornya tepat di dahan di atas kepala. Jadi tinggal ayunkan kepala saja sudah pasti bisa menjangkau wajah saya, bahkan lebih tentu saja.

Kepala ular melebar selebar piring makan. Badannya sebesar kira-kira sebotol air mineral 1 literan. Benar-benar besar! Di lehernya ada tanda hitam di bagian kiri dan kanannya. Matanya tajam menatap tak bergeming ke arah saya. Sementara lidahnya keluar masuk dari mulutnya.

Dalam keadaan tertegun dan kagum saya tak bergerak sama sekali. Kami saling tatap beberapa saat. Pada saat genting begitu, tidak ada lagi rasa takut. Yang ada hanya tertegun dan tak tau berbuat apa.

Beberapa saat setelah saya menyadari bahaya mengancam maka refleks dengan suara mulut mengusirnya.

"Husssssst!" kata saya.

"Hussssssst...." ular membalas.

Sampai kalau tidak salah tiga kali usiran itu saya lakukan. Ular tidak bergerak dan saya pun tidak bergerak.

Begitu melihat leher ular itu bergelinjang seperti akan melakukan gerakan. Entah dapat kekuatan dan ide dari mana,  saya membalikkan badan dan meloncat ke arah hulu sungai. Dengan loncatan sekuat tenaga. Kemudian terus saja saya berenang ke tepian di arah hulunya.

Begitu sampai di tebing, saya menoleh ke belakang. Saya lihat ekornya mengarah ke hilir sungai.

Saat itulah gemetara seluruh badan. Basah kuyup terendam tak berasa lagi. Sambil menggigil ketakutan, saya naik ke daratan. Dan mendatangi arah berlarinya ular tadi. Soalnya perlengkapan mancing masih tertinggal di sana.

Dengan ranting kayu besar dan panjang saya datangi ular tersebut. Sekaligus memastikan bahwa ular itu menjauh.

Ternyata ularnya lari menyeberang sungai. Saya awasi terus hingga hilang masuk ke dalam semak belukar. Barulah saya turun mengambil peralatan pancing, masih dalam kondisi gemetar.

Setiba di tempat di mana alat pancing tertinggal itulah seluruh kekuatan habis terkuras. Lunglai saya duduk di tempat itu, sambil mata tak lepas-lepasnya menatap seberang sungai dimana sungai tadi lari.

Sungguh! Terdengar jelas gerakan pasir dan dedauan di tanah tempat ular itu merayap. Saya bergidik berkali-kali, hingga tak terhitung lagi. Hampir setengah jam berikutnya baru bisa tenang dan berdiri lagi. Saya pun pulang dalam keadaan gontai. Seluruh pakaian masih basah.

Saking kuatnya meloncat ke arah sungai tadi baru terasa kalau telapak kaki saya perih. Setelah saya amati ternyata terkelupas. Jalan pulang pun dalam keadaan jinjit belakang (menggunakan tumit). Meringis menahan perih.

Beruntungnya saya tidak banyak bergerak ketika tepat berada di hadapan ular itu. Mematung yang saya lakukan ternyata menyelamatkan saya. Saya tau itu ketika nonton film american ninja kids.

Trauma berada berhadapan ular tersebut hingga kini masih tersisa.

*****

Setelah kembali bertugas di tempat yang dengan dengan rumah, aktifitas mancing pun tetap saya lalukan. Kegiatan mancing di sungai memang jarang. Masih teringat peristiwa itu. Pun begitu jika pas kebetulan mancing di sungai pasti lebih sering menoleh ke atas dan ke belakang dari pada mengawasi jorang pancing.

Pada suatu ketika, saat itu memang sedang hari libur. Jadi aktifitas mancing bisa dilakukan pagi hari. Kebetulan yang dipancing ikan gabus (snakehead). Tempatnya di areal persawahan yang belum digarap.

Biasanya di rerumputan air yang tebal itulah ikan gabus bersembunyi. Menanti ada katak, tikus, burung, atau apa saja binatang yang biasa ia dapatkan. Ikan gabus di tempat begini biasanya besar-besar.

Menjelang siang setelah sejak pagi melempar joran panjang ke arah rerumputan itu berkali-kali tak ada sambaran ikan. Padahal saya yakin di tempat itu ada ikan gabus besar.

Teknik mancing yang saya gunakan adalah teknik joran panjang. Caranya umpat anak katak dikaitkan ke mata pancing, kemudia digerak-gerakkan seolah katak tersebut berengan. Jadi setelah lintasan berenangnya, umpan diangkat dan dilempar lagi. Begitulah seterusnya.

Dengan keyakinan penuh, suatu saat ikan gabus tersebut akan menyambar umpan maka lempar demi lemparan saya lakukan dengan penuh kesabaran. Entah sudah berapa ratus kali lemparam itu saya lakukan. Ketika capek, berhenti sejenak lalu lempar lagi.

Setelah sekian jam, kalau tidak salah sekitar tiga jam berdiri di tanah berair sedalam lutut terasa juga lelahnya. Namun kelelahan berbuah manis!

Begitu sedikit lengah, umpan disambar ikan! Saya kaget melihat gelombang bekas sambaran. Jika sambarannya seperti itu memang yang menyambar pasti ikan sangat besar. Katanya jika disambar ikan besar biarkan dulu hingga umpan benar-benar ditelan. Dan saya lakukan!

Saat saya sudah benar-benar yakin umpan sudah ditelan, maka joran saya senda kuat-kuat. Dan, berat! Ikan tidak terangkat. Maka joran saya rebahkan. Senar saya tarik kuat-kuat, agar ikan mendekat.

Ikan gabus seukuran paha orang dewasa pun dalam pelukan. Benar-benar saya peluk. Satu tangan memegang insang ikan. Tangan lain memegang ekornya. Posisi pancing masih dalam mulut ikan. Khawatir jika ikan meronta dan lepas, pancing masih ada dalam mulutnya.

Demi keamanan ikan, saya pun menepi ke daratan di ujung sawah dekat pondokan. Sambil berteduh. Terik matahari sudah mula membakar. Hari memang benar-benar menjelang siang. Maklum, sudah berjemur sejak pagi.

Begitu sampai di dekat pondok, karung tempat ikan sudah dipersiapkan. Pancing pun saya coba lepaskan dari mulut ikan. Kebetulan memang pancing berada jauh di dalam rongga mulut ikan.

Begitu mulut ikan saya buka. Saya dibuat hampir mati seketika saking terkejutnya. Saat itu juga ikan dalam pelukan tadi saya lemparkan sambil mengeluarkan teriakan. Sebuah umpatan.

Ikan menggeliat-geliat ingin menyelamatkan diri. Saya kebingungan sambil mencari-cari kayu besar. Ingin memukul ikan hingga mati. Itu saja yang ada di kepala saat itu.

Bagaimana tidak terkejut. Dari dalam mulut ikan keluar potongan-potongan berwarna hitam legam. Persis warna ular yang pernah berhadapan dengan saya beberapa tahun lalu.

Dan benar! Potongan-potongan itu adalah potongan badan ular. Sepotong demi sepotong ke luar dari mulut ikan yang saya coba buka tadi. Sungguh mengerikan sekali.

Ingin dibuang, dibiarkan ikan gabusnya masuk ke air sayang. Setelah  setengah harian ditunggu, mosok sih dibiarkan lepas.

Begitu dapat kayu besar, seperti orang kesetanan saya pukuli ikan itu hingga benar-benar mati. Sambil memukuli sambil saja ketakutan kalau-kalau ada potongan badan ular tersebut terkena badan.

Sebenarnya tak mengapa. Ularnya juga sudah mati. Tapi, trauma takut masa lalu memenuhi perasaan lagi.

Setelah ikan gabus benar-benar mati, dengan ranting dan kayu yang saya temukan mulut ikan saya buka. Sesekali saya siramkan air ke mulutnya agar semua ular yang ada di perutnya keluar.

Kawat pancing sengaja tidak saya lepaskan. Sudah tak ada keberanian merogoh mulut ikan dengan tangan. Senarnya saya putus dengan nyala korek api. Setelahnya saya bawa pulang.

Biasanya saya tidak pernah menjual ikan hasil pancingan. Namun kali ini ikan itu, karena takut membersihkan akhirnya saya jual. Genap 6 kilo beratnya. Harganya saat itu 15 ribu sekilo. Jadi ketakutan saya terbayar 90 ribu rupiah. Lumayan. Dari pada ikannya dibuang.

Sampai hari ini tak ada anggota keluarga yang tau cerita tentang ular di dalam mulut ikan ini. Coba saja mereka tau, pasti saya sudah dilarang dan tidak boleh mancing lagi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun