Yang paling gampang dijadikan kambing hitam pastilah yang kini mewabah di seluruh dunia. Apalago kalau bukan covid-19. Cina sebagai importir kedelai terbesar butuh kedelai sangat banyak dan lain-lain alasan yang bisa saja masuk akal.
Begitu tergantungnya kita dengan negara penghasil kedelai, ya beginilah jadinya. Kadang naik, kadang langka. Dan masyarakarlah yang jadi korban pertamanya. Terutama pengrajin kedelai.
Kalau di DKI saja akibat gejolak harga tersebut, setidaknya ada 5.000 pelaku usaha kecil dan menengah atau UKM di DKI Jakarta yang menghentikan proses produksi tahu dan tempe selama tiga hari, terhitung mulai tanggal 1 hingga 3 Januari 2021. Bagaimana dengan yang ada di daerah lain? Entahlah...
Nah, "Gejolak harga kacang kedelai ini juga bisa sebagai upaya pengenalan benih kedelai hasil rekayasa genetik atau GMO (Genetically Modified Organism) untuk dikembangkan di Indonesia yang berpotensi besar menghilangkan benih-benih kedelai lokal. Untuk di Indonesia sendiri impor kedelai juga masih dikuasai oleh korporasi transnasional skala besar seperti Cargill," kata Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI) Henry Saragih  dalam keterangan tertulis yang diterima Kontan.co.id, Selasa (5/1). Ini yang begitu membuat saya khawatir.
Tapi apalah arti kekhawatiran tukang mancing. Kemampuannya hanya melihat, ngomel dan mencak-mencak tanpa bisa berbuat banyak. Paling-paling hanya menahan diri untuk tidak makan tahu dan tempe sebagai bentuk solidaritas. Mungkin saja percuma.
Akhirnya pertanyaan saya mengapa bulek yang biasa keliling dari rumah ke rumah menjajakan tahu dan tempe tak terlihat lagi. Ternyata harga kedelai mahal, mungkin juga sedang tidak ada alias langka.
Saking begitu berpengaruhnya sampai pedagang keliling pun harus kehilangan pendapatannya. Malang memang...
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI