Nang ning nang gong, Pak Bayan. Sego jagung ra doyan...
Seperti mengalir dalam darah, meluas rongga pernapasan, lega bercampur gembira. Lengang genggok tarian. Gemulai dalam tebar senyum menawan. Bokong besar ganjelan busa. Begitulah kira-kira yang kini menutupi wajahku. Ingatan penuh berisi peristiwa kala itu.
Mantenan! Malam resepsi. Jauh sebelum ada berita tentang korona. Bahkan terbayang pun belum.
Selepas isya acara dimulai. Pertunjukan langsung, bukan musik elektrik tanpa penghuni atau tanpa artis mengelilingi. Siapa mereka? Sinden Edan. Begitulah orang-orang menyebutnya. Pembawa acara memperkenalkan namanya. Sinden Edan.
Nama aslinya sumirah, wajah cantik, suara melengking merdu, mendayu-dayu bila sudah tampil menari dan nyinden. Itu cerita masa lalu. Kini usianya tak muda lagi. Sebagian rambutnya telah memutih. Ia enggan melepaskan diri sebagai sinden edan. Baginya nyinden adalah hidupnya. Cita-citanya ingin mati saat nyinden.
Di bawah tenda terpal beralaskan tanah. Pengunjuk duduk bersila, ngesot di atas tanah. Hanya manten yang duduk di kursi layaknya raja dan ratu.
Gamelan tak henti-hentinya berbunyi. Mulai dari irama syahdu mendayu-dayu hingga hingar bingar tak menentu. Diselingi sorak pengunjung dan celoteh nakal mereka.
"Kancing bajunya dibuka, Nden!"
"Jarit diangkat sedikit!"
"Nanti saweran munggah lo!"
Nenek, wong cuma disuruh begitu-begituan. Yang menyuruh sepantaran dengan cucunya. Apa susahnya.