"Kopiah songkok tinggi ini hanya tigapuluh delapan ribu rima ratus. Di tempatku uang limaratus rupiah sudah hampir gak ada mas."
Memang benar, uang pecahan seribu logam kadang terselip di rerumputan. Bocah yang melihat, jangankan memungut. Perubahan raut muka saja tak terlihat. Persis melihat batu atau kerikil. Zaman memang aneh.
Di tempat lain, market, swalayan, padahal masih dijadikan kembalian. Ada apa?
Hari itu siang sangat terik. Anak-anak pesantren biasanya main panah-panahan setelah selesai memberi makan ikan di keramba-keramba mereka. Kali ini bergegas ke kamar masing-masing. "Lebih dingin dan sejuk. Ada AC jadi bisa sambil santai."
Sesekali terdengar lantunan penggalan ayat suci keluar dari mulut mereka. Ada yang menderas hapalan Al Qurannya. Ada yang menghapal lagu tilawahnya. Memang sangat merdu.
Di tempat ini santri hampir tak mengenal uang. Televisi tidak ada. Gawai dirazia. Bagi mereka bangun tidur sekira pukul 3 dini hari. Kemudian salat malam dengan segala rapalan, salat subuh merjamaah, majelis dzikir hingga pagi.
Saat matahari telah terang benderang, mereka baru beranjak dari tempatnya. Masjid besar di mana Tuan Guru, sang ustazd menjadi imam salat. Setiap hari, tidak ada istilah libur atau istirahat.
Keluar dari masjid, panggilan tepuk tangan tanda berkumpul di lapangan sudah menyapa. Kopiah songkok yang tadinya rapi di atas kepala kini menjadi miring. Ada yang ke kanan. Ada yang ke kiri, tak sedikit yang miringnya ke belakang.
Sarung mereka ikatkan ke pinggang. Senam pagikah mereka. Seperti kebanyakan dari kita. Olah raga menyehatkan tubuh katanya. Kurang sehat apa mereka? Sejak pukul 3 pagi hingga menjelang pukul 7. Empat jam persis.
Oh, ternyata instruksi hari ini adalah pembersihan lahan. Empang kolam ikan, kandang kambing, bedengan sayur-sayuran. Memang sudah waktunya dibersihkan. Setiap jumat pagi waktu untuk bersih-bersih. Hingga menjelang jumatan boleh mandi bersih-bersih kemudian berangkat jumat.