Sajen, Menghitam Di Bola Matanya
Seperti jalinan listrik dalam otak. Ayam cemani menempati posisinya. Teramat istimewa datangkan rejeki dan menolak bala. Dari ritual biasa hingga ritual istimewa. Ia diburu dengan segala cara. Tak peduli berapa pun harga. Yang penting ada.
Seperti bola mata di sekeliling hitamnya. Apem menjadi pelebur dosa. Menjadi payung arwah leluhur yang telah meninggal. Mewakili permohonan ampunan. Diusung dalam arakan kematian.
Senyum dan tertawa menjadi tanda betapa bahagia mendekati raga. Bersusun rapi sela-sela gigi. Begitulah pisang menjadi suci. Tak akan pernah mati saat sisiran buah masak diujung tangkainya. Persembahan awam pada tanah yang telah membesarkan. Pijakan hingga tempatnya bersemayam.
Tujuh lapis langit adalah tujuh lapis buah kelapa. Setelah sekian tahun kehidupannya. Air jernih manis tak terkira. Menjadi tekad yang buat, kendaikan keinginan dan ketercapaian. Kelapa jumawa di atas buah lainnya.
Dewi Sri, engkaulah beras yang dimakan. Dalam perkawinan, pengantin tunduk pada tumpukan beras. Awali kehidupan sebuah keluarga.
Ayam cemeti, apem putih, pisang raja, buah kelapa, dan beras dalam adukan tipis menutup kelopak mata. Mengeras menjadi kulit batok kepala. Lalu, tumbuh rambut lebat melindunginya. Bersayam di bawah kesadaran sepenuhnya
Ketika siang, sajen mengganti matahari menyilaukan mata. Ketika malam, sajen menjadi gelap menutup apa pun yang terlihat. Dan ketika senja, sajen berubah menjadi hantu menakut-nakuti anak di luar rumah mereka.
Saat pagi, sajen siap menjadi tongkat penghuni tampahnya. Berjalan pada siang dalam silauan matahari, malam dalam gelap lalu menyinari, dan senja dalam takut yang tak terkira.