Penyadapan dalam tahapan penyelidikan dan/atau penyidikan dapat diartikan sebagai tindakan merekam atau mendengarkan komunikasi seseorang atau sekelompok orang secara diam-diam, biasanya melalui alat bantu elektronik. Tujuannya adalah untuk mengumpulkan bukti atau informasi yang diperlukan untuk mengungkapkan suatu tindak pidana.
Adapun dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 juncto Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016, pengertian dari penyadapan terdapat dalam penjelasan Pasal 31 ayat 1 yang berbunyi, "Yang dimaksud dengan intersepsi atau penyadapan adalah kegiatan untuk mendengarkan, merekam, membelokan, mengubah, menghambat, dan/atau mencatat transmisi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang tidak bersifat publik, baik menggunakan jaringan kabel komunikasi maupun jaringan nirkabel, seperti pancaran elektromagnetis atau radio frekuensi."
Dalam proses penegakan hukum, penyadapan sangat membantu para aparat penegak hukum karena penyelidik atau penyidik dapat memperoleh informasi yang sulit didapatkan dengan cara lain. Melalui metode ini pula, banyak perkara-perkara pidana besar yang berhasil diungkap.
Dasar hukum atau rechtsgrond dari penyadapan dalam hukum positif di Indonesia setidaknya terdapat dalam 16 aturan, yaitu:
   Bab XXVII KUHP Tentang Kejahatan Jabatan, Pasal 430 sampai dengan Pasal 434, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi, 5. Perpu Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2011 tentang Intelijen Negara, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial, Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2000 tentang Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Jasa Telekomunikasi, Peraturan Menteri Informasi dan Komunikasi Nomor 11 Tahun 2006 tentang Ketentuan Teknis Penyadapan Terhadap Informasi, Peraturan Menteri Informasi dan Komunikasi No 1 Tahun 2008 tentang Penyadapan Informasi untuk Pertahanan dan Keamanan Negara.
Penyadapan adalah suatu proses pengumpulan alat bukti yang dalam pelaksanaannya berbeda dengan alat bukti lain, seperti keterangan saksi dan keterangan terdakwa yang dapat diberikan secara sukarela. Penyadapan tentu dilakukan secara diam-diam dan tanpa persetujuan target. Di satu sisi, memang ada proses penegakan hukum yang harus dijalankan, namun di sisi lain, ada hak asasi yang juga harus dijaga. Menjadi pertanyaan adalah apakah hasil dari penyadapan itu dapat dipertanggungjawabkan keamanannya terkait informasi yang tidak ada hubungannya dengan pokok perkara yang sedang diselidiki. Dan juga, siapa saja atau batasan pihak yang dapat disadap dalam proses penyelidikan dan penyidikan—apakah hanya calon tersangka, keluarga tersangka, atau famili dan rekan-rekan bisnis?
Pasal 28G ayat (1) UUD 1945 menyatakan, "Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang berada di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi." Pasal ini menjadi dasar dari perlindungan hak asasi privasi dalam komunikasi. Namun yang perlu juga diingat adalah bahwa pasal ini tidak dapat diberlakukan secara mutlak sehingga mengurangi atau menjadi hambatan bagi proses penegakan hukum.
Adapun dalam Pasal 28J ayat (2) menyatakan, "Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis."
Pasal 31 ayat 4 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 menyatakan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara atau intersepsi diatur dengan undang-undang. Pasal ini mengamanahkan bahwa seharusnya penyadapan diatur dengan undang-undang tersendiri, walaupun saat ini RUU Penyadapan tengah dibahas di DPR RI. Sehingga diharapkan dapat mengurangi kontroversi praktik penyadapan saat ini. Sehingga hal-hal yang dapat dijadikan alasan bahwa penyadapan memiliki bahaya bagi hak asasi privasi karena lemahnya regulasi.
Oleh karena itu, proses perbaikan praktik penyadapan dalam konteks penegakan hukum melalui RUU Penyadapan harus didasarkan pada kewajiban menjaga dan melindungi hak asasi privasi serta di sisi lain tanpa mengurangi semangat penegakan hukum.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H