Mohon tunggu...
Arif Nur Kholis
Arif Nur Kholis Mohon Tunggu... -

Seorang multi minat yang sebenarnya bingung minat aslinya apa. Tinggal di Yogyakarta, asal Kendal -Jawa Tengah. Tukang nonton Film, baca Novel, dan sempat jadi relawan ketika terjadi Gempa Bumi Yogyakarta,Tasikmalaya dan Sumatera Barat. Senang Traveling, aktif di Pusat Studi Falak di sebuah perguruan tinggi, sedang belajar memotret dan lagi coba mengembangkan tulis-menulis. Sekarang sedang mengembangkan sebuah travel adventure orgaizer di Pulau Lombok bernama "Rinjani Magazine" dan jadi pendamping beberapa institusi pendidikan,kesehatan, sosial dan bisinis yang sedang mengembangkan manajemen website-nya.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kumkum, Menonton Mimpi Perubahan Komunitas Metro

19 April 2010   03:51 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:43 169
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Kalau Anda sempat berjalan jalan ke Museum Bank Mandiri Jakarta, 17-18 (Sabtu-Minggu/04/2010) ini, maka Anda akan bertemu event bertajuk “KUMKUM” yang merupakanwadah bertemunya para “penggiat” komunitas dari berbagai macam komunitas. Kata Websitenya sih begini : “KumKum di sini merupakan sebuah ajang kumpul-kumpul bareng berbagai komunitas. Di sini akan ada komunitas blogger, literasi, hobi, astronomi, pencari dana, peduli anak & peduli lingkungan. Bahkan juga akan ada komunitas pengamen & anak jalanan ikut meramaikan”. (http://kumkum.dagdigdug.com/).

Jadinya, tampilah beraneka ragam gaya komunitas warga metropolitan, Jakarta,yang walaupun kecil,bersegmentasi specific dan ada beberapa yang cenderung sophisticatednamun kalau dibaca sebagai sebuah kesatuan besar, mereka adalah penggiat perubahan akibat derita moderinisme dengan kemenangan telak kapitalisme, yang sebenarnya bermotivasi sederhana dan mendasar : “Mengajak Bersama Menjadi Lebih Baik”,“Perubahan yang bukan berawal dan berakhir dengan kritik, atau perubahan yang hanya dari diskusi ke diskusi, namun dari keprihatinan berbuah solusi sekecil apapun itu”

Bukanlah Revolusi

Menurut saya inilah bentuk New Social Movement, gerakan sosialbaru yang digagas dengan kesadaranglobal dan holistic namun mewujud dalam gerakan-gerakan berbasis isu, fokus, lokal, ringan namun organik, menyatu dengan keseharian. Kalau dalam fenomena gerakan sosial sebelumnya banyak bebasis pada wacana besar seperti Agama, Ideologi, Filsafat.

Gerakan sosial baru ini berdasarkan isu-isu strategis yang dianggap aktual dan membumi yang biasanya turuan dari isu global. Bukan lagi berbicara tentang Kapilatisme, Sosialisme, Islamisme dan isme – isme yang berkembang pasca revolusi industrinamun sudah berbicara masalah : Hak Asasasi Manusia, Gender, Lingkungan , kemiskinan dan Krisis Eunergi tentu dalam bentuk yang ‘sepertinya’ lebih sederhana, khususnya masalah yang dihadapi kaum metropolitan saat ini.

Sebut saja komunitas nebeng.com. Komunitas kaum Mertropolitan yang kesehariannya hilir mudik dari tempat kos, kontrakan, apartemen atau rumah kreditan ke kantor masing-masing ini ingin mengajak bersama member solusi kreatif fenomena kemacetan khas Jakarta dan krisis energy global dengan mengajak untuk saling nebeng kendaraan ke tempat kerja. Atau simak saja komunitas Weekend Tanpa Ke Mall yang mengajak kaum Metropolitan di Jakarta melakukan alternatif lain berkegiatan selain main ke Mall di akhirpekan.

Ada banyak komunitas lain seperti Bike to Work (bersepeda ke tempat kerja), Komunitas Jelajah Museum, Komunitas Langit Selatan (pengamatan bintang), komunitas 1001 Buku (perpustakaan, dll). Komunitas Anti Bising, komunitas pemanfaatan barang bekas dan banyak komunitas lainnya…

Dalam pengamatan saya, mereka ada yang kemudian berwujud sekedar sebuah komunitas saja yang terbentuk karenakumpul bersama, ada yang terjadi karena kesamaan latar belakang, kesamaan kebosanan, dan ada yang kemudian berbadan hukum lembaga swadaya masyarakat (lsm) dan juga bagian dari sebuah pusat studi di sebuah perguruan tinggi. Bahkan komunitas yang digarap lembaga internasional seperti WWF pun ikut tampil di event ini.

Konsekuensinya penggiatnyapun bermacam – macam, ada yang memang sambilan layaknya menjadi pengurus ormas atau kelompok supporter sepakbola, ada juga yang menjadi profesi khususnya bagi komunitas yang belatar belakang lebaga swadaya masyarakat atau pusat studi sebuah perguruan tinggi.

Support operasionalnya pun bermacam – macam, ada komunitas yang memang berbasis partisipasi personal-personal penggiatnya mirip dengan grup band indylabel, ada yang mendapat dari donasipendukung, dan ada juga tampilnya label – label lembaga donor seperti JICA dari Jepang.

Mitos, Ideologi dan Isu Global

Mengkaji fenomena komunitas – komunitas di atas menjadi menarik bila kemudian dikaitkan dengan kelakuan agen-agen perubahan di negeri ini yang lain. Misalnya Partai Politik ataupun Organisasi Masyarakat yang lahir pada jaman ketika wacana besar (baca : ideologi ) menjadi sandaran mereka yang menjadi“nabi” yang mengkritik di tengah lahirnya moderninsasi. Yah… ideology adalah agama di jaman modern. Dan ketika jaman beranjak ke posmo, penggantinya adalah : Isu bersama ,Global.

Agama memotivasi penggagas perubahan melalui mitos,keyakinan yangmemang suprarasional. Agama lahir diyakinan merupakan kehendak Tuhan yang Supranatural. Sedangkan Ideologi memotivasi perubahan melalui dialektika hasil rasionalisasi terhadap kenyataan dan idealisme. Sebenarnya agama tidak mati ketika idelogi berkuasa, ada yang mempengaruhi, ada antitesisnya, ada yang berbasis atas tafsir dari sebuah agama. Sehingga kemudian banyak kaum agamawan di dunia modern lupa bahwa idelogi berbasis agama bukanlah agama itu sendiri.

Dilihat dari struktur sosial, Agama lahir ketika manusia terdiri dari manusia-manusia biasa dan tampil seorang manusia pilihan yang kemudian diyakini membawa misi langit. Ideologi lahir dari adanya sedikiti manusia yang menikmati cara berfikir modern setelah dia menempuh proses akademik tertentu yang kemudian idenya dianggap sebagai pencerahan baru pada jamannya.

Komunitas – komunitas yang bergerak berbasis isu – isu global ini lahir ketika pendidikan sudah bisa diakses oleh semua orang, sehingga kemampuan mengakses informasi menjadi hal yang tidak sulit lagi, sehingga timbullah bahasa global yang “misionarisnya” berdakwah melalui jejaring sosial seperti Facebook, Twitter, Multiply dll.Tidak ada institusi kependetaan disini, tidak ada pula pemimpin besar revolusi disini, yang ada adalah semua individu bisa menjadi aktor sehingga berkembang secara partisipatoris.

Sehingga di jaman Posmo ini agama yang berbentuk mitos dan ideology yang kemudian berbentuk rangkaian filsafat politik dianggap tidak mampu lagi mengatasi masalah-masalah riil di depan mata yang kemudian mengerucut dalam bentuk isu – isu pragmatis : Hak Asasasi Manusia, Gender, Lingkungan , kemiskinan dan Krisis Energi. Disinilah filsafat fungsionalisme gaya amerika kemudian banyak mempengaruhi model gerakan sosial baru ini walaupun sebenarnya yang dikritik hebat adalah modernsime yang berkembang dari berbagai ideology besar dunia.

Komunitas pemanfaatan barang bekas, nebeng.com, bike to work, komunitas anti bising, week end tanpa ke mall semuanya adalah kritik terhadap masyarakat kota, yang makmur setelah mengikuti alur yang ditetapkan modernism : Sekolah yang rajin, tinggi dan bekerjalah.

Sebenarnya Agama juga dikritik habis, namun tidak sesengit ketika mengkritik ideologi– ideologi. Agama tidak banyak menjadi referensi utama gerakan – gerakan seperti ini, karena banyak yang beranggapan bahwa agama yang di era modern telah banyak ditinggalkan, dalam era posmo ini dianggap sebagai bagian dari identitas Kultural semata. Derajat agama seseorang menjadi sama dengan suku bangsa seseorang, hanya mempengaruhi kesamaan latar belakang, namun tidak banyak mempengaruhi aktualisasi gerakan.

Politik Komunitas

Dalam perkembangan di Indonesia, model gerakan komunitas – komunitas ini seakan mengikuti rumus Small is beautiful. Gerakan-gerakan ini seakan percaya bahwa jangan sampai terjadi birokratisasi dalam sistem mereka, dan yang penting idenya tetap hidup bukan lembaga, sehingga walaupun pada personalnya tetap terjadi institusionalisas, namun tidak sepermanen ketika dalam bentuk ormas.

Yang kemudian menarik adalah menunggu fase berikutnya dari sebuah gerakan, yaitu bentuk politiknya. Ketika agama dahulu lahir, kemudian menemukan (atau juga mengkorupsi dirinya) bentuk politik dalam bentuk kerajaan-kerajaan berbasis agama. Kemudian, ketika ideologi ideologi besar berkembang melahirkan bentuk politik negara-negara berbasis ideology dengan penopang partai politik berbasis edeologi dan berbasis agama yang ‘dipaksa’ mengalami ideologisasi. Nah… isu global ini hingga sekarang masih belum menemukan bentuk politiknya. Bahkan mungkin mereka para penggerak isu ini tidak pernah berfikir akan membentuk kekuatan politik untuk perubahan.

Di negeri eropa maupun Australia lahir partai bebasis salah satu isu global seperti Partai Hijau. Bahkan karakter mereka khas, tidakmenjadi kekuatan politik yang besar, namun tetap signifikan karena menjadi penentu. Targetnyapun jelas, mempengaruhi kebijakan yang pro terhadap isu lingkungan.

Kadang juga bentuk politik mereka menemukan radikalisasi, seperti kelakuan Green Peace yang melakukan berbagai misi ekstrim seperti menghadang tangker, kapal limbah nuklir dan sebagainya.

Isu – Isu lainpun tentunya akan terus berkebang….. menarik kalau kemudian akan berkembang partai – partai politik seperti partai peduli kebisingan, atau partai peduli barang bekas. Dan sejarahpun berulang… suatu saat akan terjadi kritik pula ketika budayanya tiba – tiba menjadi sebuah birokrasi…. Entah akan seperti apa lagi manusia mengikuti hukum evolusinya….

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun